Alhamdulillah pada bulan April 2009 yang bertepatan dengan bulan Rabi'ul Akhir 1430 H, kita kembali akan kedatangan tamu agung, yaitu Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz, dari Tarim Hadramaut. Beliau akan melakukan kunjungan da'wah beliau khususnya untuk melakukan ijtima' dengan ulama dari berbagai daerah di Indonesia.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini memang Habib Umar bin Hafidz singgah ke Indonesia selama dua kali, yang pertama Beliau hadir pada bulan Januari yang lalu atau bertepatan dengan bulan Muhamrram 1430 H, dan yang kedua beliau InsyaAllah hadir pada pertengahan bulan April yang jadwalnya terlampir dibawah ini.
InsyaAllah dengan hadirnya guru mulia kita tersebut, banyak manfaat yang bisa kita terima khususnya buat kita pribadi, umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Jadwal kegiatan Habib Umar bin Hafidz selama di Indonesia yang ke-2 sebagai berikut :
Rabu 15/04/09 :
Tiba di Jakarta
Kamis 16/04/09 :
Haul Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi dDi Solo
Jumat 17/04/09 :
Maulid di Solo
Jumat 17/04/09 :
- Sholat Jumat di Masjid Agung Semarang
- Ijtima' Ulama Jawa Tengah di Semarang (undangan khusus)
Sabtu 18/04/09 :
Ijtima' Ulama Jawa Tengah di Semarang (undangan khusus)
Ahad 19/04/09 :
Ijtima' Ulama Jawa Timur di Batu - Malang (undangan khusus)
Senin 20/04/09 :
Ijtima' Ulama Jawa Timur di Batu - Malang (undangan khusus)
Senin 20/04/09 :
Haul Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi di Surabaya
Selasa 21/04/09 :
Ijtima' Ulama Kalimantan di Banjarmasin (undangan khusus)
Rabu 22/04/09 :
Ijtima' Ulama Kalimantan di Banjarmasin (undangan khusus)
Kamis 23/04/09 – Ahad 26/04/09 :
Haul dan Maulid di Singapura
Ahad 26/04/09 :
Maulid Di Masjid Istiqlal di Jakarta
Senin 27/04/09 :
Ijtima' Ulama Sumatera di Palembang (undangan khusus)
Selasa 28/04/09 :
Ijtima' Ulama Sumatera di Palembang (undangan khusus)
Rabu 29/04/09 :
Ijtima' Ulama Jawa Barat di Ciater (undangan khusus)
Kamis 30/04/09 :
Ijtima' Ulama Jawa Barat di Ciater (undangan khusus)
Kamis 30/04/09 :
Perjalanan Ke Australia Ijtima' di Sydney
Wednesday, April 15, 2009
Monday, April 13, 2009
Nabi Musa As
Oleh : Yusa Nugroho
"Bib, banyak kenalan saya yang membicarakan kisah tentang Nabi Musa As dan sayidina Khidir tapi mereka kebanyakan beranggapan bahwa Nabi Musa As tidak faham tentang apa itu hakikat. Mereka mengidentikan bahwa Nabi Musa As itu gambaran dari syari’at sedangkan sayidina Khidir gambaran dari hakikat. Saya tidak sependapat dengan mereka, prinsip saya adalah tidak mungkin seorang Nabi tidak faham tentang hakikat dari segala sesuatu. Bagaimana menurut antum, bib?”, tanya saya kepada habib Shodiq bin Abubakar Baharun.
Habib shodiq menjawab bahwa kisah itu diawali dengan seseorang yang bertanya kepada Nabi Musa As siapa orang yang paling alim di muka bumi pada saat itu. Karena Nabi Musa As adalah seorang Nabi maka dijawab orang yang paling alim di muka bumi pada saat itu adalah beliau sendiri. Jawaban ini tidak salah sebab Nabi adalah orang yang banyak ilmunya dibandingkan dengan umatnya, Nabi adalah orang yang paling utama dibandingkan dengan umatnya. Jawaban Nabi Musa As benar, beliau tidak menjawab dengan nafsu beliau tapi memang begitulah adanya.
Meski begitu Nabi Musa As diperintahkan oleh Allah Swt untuk menemui hamba Allah Swt yang bernama Khidir atau dikenal juga dengan nama Balya’ bin Malkan. Khidir ini tidak disebut sebagai Nabi di dalam Alqur’an tapi hamba Allah Swt, jadi beliau lebih suka dipanggil dengan ‘sayidina’ daripada ‘Nabi’. Sebenarnya kedudukan Nabi Musa As lebih tinggi daripada sayidina Khidir karena Nabi Musa As adalah seorang Nabi sedangkan sayidina Khidir adalah bukan Nabi.
Karena Allah Swt yang memerintahkan maka Nabi Musa As pun pergi mencari orang yang bernama Khidir tersebut. Ketika bertemu dengan sayidina Khidir, Nabi Musa As pun segera tahu bahwa ilmu yang pakai oleh sayidina Khidir ini adalah ilmu hakikat, akan tetapi karena Nabi Musa As diperintahkan Allah Swt untuk bersama dengan sayidina Khidir maka Nabi Musa As tidak berani meninggalkan sayidina Khidir kecuali sayidina Khidir sendiri yang menyuruh Nabi Musa As pergi.
Jadi pada dasarnya Nabi Musa As tahu dan memahami apa yang dipahami oleh sayidina Khidir, Nabi Musa As memahami ilmu hakikat, hanya saja beliau tidak melupakan ilmu syari’at, Nabi Musa As tetap memakai ilmu syari’at meski paham ilmu hakikat. “Syari’at dan hakikat itu sama tinggi derajatnya!”, demikian habib Shodiq bin Abubakar Baharun menjelaskan.
"Bib, banyak kenalan saya yang membicarakan kisah tentang Nabi Musa As dan sayidina Khidir tapi mereka kebanyakan beranggapan bahwa Nabi Musa As tidak faham tentang apa itu hakikat. Mereka mengidentikan bahwa Nabi Musa As itu gambaran dari syari’at sedangkan sayidina Khidir gambaran dari hakikat. Saya tidak sependapat dengan mereka, prinsip saya adalah tidak mungkin seorang Nabi tidak faham tentang hakikat dari segala sesuatu. Bagaimana menurut antum, bib?”, tanya saya kepada habib Shodiq bin Abubakar Baharun.
Habib shodiq menjawab bahwa kisah itu diawali dengan seseorang yang bertanya kepada Nabi Musa As siapa orang yang paling alim di muka bumi pada saat itu. Karena Nabi Musa As adalah seorang Nabi maka dijawab orang yang paling alim di muka bumi pada saat itu adalah beliau sendiri. Jawaban ini tidak salah sebab Nabi adalah orang yang banyak ilmunya dibandingkan dengan umatnya, Nabi adalah orang yang paling utama dibandingkan dengan umatnya. Jawaban Nabi Musa As benar, beliau tidak menjawab dengan nafsu beliau tapi memang begitulah adanya.
Meski begitu Nabi Musa As diperintahkan oleh Allah Swt untuk menemui hamba Allah Swt yang bernama Khidir atau dikenal juga dengan nama Balya’ bin Malkan. Khidir ini tidak disebut sebagai Nabi di dalam Alqur’an tapi hamba Allah Swt, jadi beliau lebih suka dipanggil dengan ‘sayidina’ daripada ‘Nabi’. Sebenarnya kedudukan Nabi Musa As lebih tinggi daripada sayidina Khidir karena Nabi Musa As adalah seorang Nabi sedangkan sayidina Khidir adalah bukan Nabi.
Karena Allah Swt yang memerintahkan maka Nabi Musa As pun pergi mencari orang yang bernama Khidir tersebut. Ketika bertemu dengan sayidina Khidir, Nabi Musa As pun segera tahu bahwa ilmu yang pakai oleh sayidina Khidir ini adalah ilmu hakikat, akan tetapi karena Nabi Musa As diperintahkan Allah Swt untuk bersama dengan sayidina Khidir maka Nabi Musa As tidak berani meninggalkan sayidina Khidir kecuali sayidina Khidir sendiri yang menyuruh Nabi Musa As pergi.
Jadi pada dasarnya Nabi Musa As tahu dan memahami apa yang dipahami oleh sayidina Khidir, Nabi Musa As memahami ilmu hakikat, hanya saja beliau tidak melupakan ilmu syari’at, Nabi Musa As tetap memakai ilmu syari’at meski paham ilmu hakikat. “Syari’at dan hakikat itu sama tinggi derajatnya!”, demikian habib Shodiq bin Abubakar Baharun menjelaskan.
Wednesday, April 08, 2009
Tidak Suka Bicara
Oleh : Al-Habib Muhammad bin Abdurrahman Assaggaf
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Sayyidina Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya. Berkata Imam Nawawi - semoga Allah merahmatinya dan memberikan kemanfaatan kepada kita dengan keberadaannya dan semua ulama.
Dari hadits yang kelima, dari Abu Hurairoh (semoga Allah meridhoinya), sesungguhnya Rasulullah SaW berkata,
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata kebaikan atau diamlah. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah menghormati tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah menghormati tamunya.”
(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Hadits ini pada awalnya berhubungan dengan hadits yang sebelumnya dan kita sudah membacanya bahwa sesungguhnya dari sebagian kesempurnaan iman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak ada arti/manfaatnya. Kami telah menyebutkan bahwa yang termasuk sebagian daripada sesuatu yang tidak ada artinya adalah berlebih-lebihan secara umum, dan terutama berlebih-lebihan dalam berbicara. Dan di sini Rasulullah SAW mengkhususkan dalam hal ini dengan berkata, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata sesuatu yang baik atau diamlah.”
Diam dan tidak berkata apa-apa daripada sesuatu yang tidak ada artinya adalah sukuut ikhtiyaariy (diam karena pilihan kehendak sendiri). Karena manusia terkadang diam, akan tetapi itu karena bohong, sakit, lemah, atau rasa takut. Adapun yang dimaksud disini adalah sukuut ikhtiyaariy, seseorang yang mencegah lisannya daridapa berbicara. Dikatakan bahwa sesungguhnya syahwatil kalam (nafsu untuk berbicara) lebih berbahaya daripada syahwatit tho’am (nafsu untuk makan). Ini termasuk diantara syahwat yang paling berbahaya.
Di sini, sikap diam adalah termasuk sebagian daripada hikmah yang luar biasa. Demikian juga, sikap diam ini adalah termasuk haal (keadaan) sebagian besar orang-orang sholeh, dimana sesungguhnya mereka pada umumnya sedikit berbicara. Anda akan tahu hikmah pada seseorang dari lamanya dia bersikap diam. Dan sesungguhnya sikap lama tidak berbicara akan memancarkan hikmah pada hati seorang mukmin, jika ia membiasakan dirinya lama tidak berbicara, ia tidak berbicara kecuali berdzikir kepada Allah kecuali jika ada kebutuhan. Karena itu, seseorang itu selama ia tidak berbicara, maka ia berada dalam keadaan aman.
Diceritakan bahwa Nabi SAW pada malam Isra’ Mi’raj melihat seekor ular keluar dari suatu lubang dan kemudian ular itu ingin kembali ke lubang itu akan tetapi ia tidak bisa. Kemudian beliau bertanya kepada Jibril, “Apa itu wahai Jibril?.” Maka Jibril menjawab, “Itu adalah orang yang berkata dengan suatu kalimat melayang di angkasa, kemudian ia ingin mengembalikan perkataannya tadi, akan tetapi ia tidak mampu.”
Oleh karena itu, dikatakan bahwa Allah menciptakan mulut itu dengan dua penjaga. Penjaga yang pertama adalah gigi-gigi. Penjaga yang kedua adalah kedua bibir. Mulut dikunci dengan gigi-gigi dan kedua bibir. Sedangkan telinga, tidak ada di sana penjaga. Ini dimaksudkan bahwa anda hendaknya lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sebagian manusia tidak suka mendengar. Mereka hanya suka berbicara. Cobalah anda lihat, ketika anda duduk-duduk (di perkumpulan), ada orang yang sukanya berbicara. Jika ada orang lain yang berbicara, ia tidak mau mendengar. Jika ia berbicara, ia menginginkan orang lain mendengarkan bicaranya. Ini merupakan cacat dan aib. Dan oleh karena itu, hendaklah seseorang membiasakan dirinya atas keadaan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata kebaikan atau diamlah.”
Karena sebab itu, sebagian daripada orang-orang sholeh menaruh batu di mulut mereka. Pernah suatu ketika salah seorang masyaikh (guru) sedang berbicara. Pada saat itu ada suatu masalah atau pertanyaan dan tiba-tiba salah seorang muridnya nyeletuk menjawabnya. Sang murid begitu gembira karena ia dapat menjawab masalah tersebut. Sang masyaikh berkata, “Masya Allah. Barakallah fiika wahai anak muda. Keluarlah dan ambilkan aku batu.”
Keluarlah sang murid dengan gembiranya tanpa mengira bahwa gurunya ingin memberikan pelajaran kepadanya dengan batu itu. Setelah sang murid mengambil batu itu, sang masyaikh berkata, “Cucilah batu itu.”
Setelah itu ia mencucinya dan menyerahkan ke gurunya dengan perasaan senang. Lalu sang masyaikh berkata, “Taruhlah batu itu di mulutmu.”
Hal ini untuk memberikan pelajaran agar seseorang itu belajar adab dan tidak cepat-cepat berbicara sebelum diberikan kesempatan.
Karena itu, pernah suatu saat berkumpullah para ulama, berdebat mengenai suatu masalah, dan disana ada Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq sedang duduk bersama mereka. Disaat mereka saling berbicara dan berdebat satu sama lain, dan disitu ada Imam besar mereka, orang yang mengerti hukum di jaman itu, bahkan beliaulah pendiri ilmu figih, Al-Imam Ja’far, beliau ditanya, “Wahai Imam, mengapa engkau tidak berbicara?.”
Beliau menjawab, “Kami adalah suatu kaum yang tidak berbicara kecuali jika ditanya. Kami tidak berbicara yang tidak perlu kecuali jika kami diam, lalu ditanya suatu masalah, maka kami menjawabnya sepanjang yang kami ketahui.”
Itulah mereka ahlul adab (orang yang mempunyai adab), radhiyallohu anhum wa ardhoohum.
Itulah hikmah daripada orang-orang yang tidak suka berbicara. Dan ini adalah riyadhoh (melatih diri) daripada bentuk riyadhoh-riyadhoh yang lain. Ini juga dipraktekkan oleh orang-orang Hindu, mereka membiasakan diri mereka dan bermujahadah daripada bersikap diam dan duduk di tempat-tempat yang gelap sampai dapat menundukkan nafsu. Adakalanya bahwa di dalam diri terdapat kekuatan, sampai seseorang dapat menjatuhkan sesuatu dari jauh tanpa memukulnya. Ini karena sebab ruh mempunyai kekuatan. Akan tetapi seorang mukmin menginginkan ruhnya bersih dalam bermuamalah kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala.
Begitu juga yang terjadi pada para sahabat radhiyallohu anhum, mereka tidak berbicara kecuali dalam kebaikan. Bahkan seringkali terjadi pada orang-orang sholeh yang berkumpul pada satu tempat, mereka tidak berbicara satu sama lain pada masa yang lama. Satu sama lain berpikir karena masing-masing dari mereka sibuk dengan keadaan mereka dan kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala.
Dan berbicara mengenai diam adalah sangat panjang. Kami menunjuk pada sebagian darinya. Kesimpulannya apa yang saya sampaikan kepada kalian adalah bahwa kalian hendaklah membiasakan diri untuk tidak banyak berbicara, karena sikap suka berbicara itu ada kelezatan.
Begitu juga, sebagaimana di dalam sikap diam adakalanya terdapat kebaikan, maka adakalanya di dalam sikap berbicara itu juga terdapat kebaikan. Kami bertanya kepada guru kami Al-Habib Abdul Qodir (bin Ahmad Assaggaf) - semoga Allah memberikan kenikmatan kepada kami dengan hidupnya di dalam kebaikan dan kesehatan, “Kami kuatir daripada syahwatil kalam sewaktu mengajar kepada orang lain. Kami kuatir ini termasuk dalam syahwat, keluar daripada nafsu. Maka doakanlah kami.”
Maka beliau menjawab, “Begitu juga dalam sikap diam, terkadang juga terdapat syahwat. Sebagaimana dengan berbicara terkadang kita menginginkan suatu ketenaran, maka terkadang di dalam sikap diam kita menginginkan juga suatu ketenaran. Sehingga orang lain menilainya, 'Orang ini berwibawa.' Maka ia diam supaya orang lain menilai, memuji, melihat, dan mengagungkannya seperti itu. Dan ini semuanya tidaklah membawa kemanfaatan dan kemudharatan."
Maka jika anda ingin berbicara, berbicaralah karena Allah. Dan jika anda ingin diam, maka diamlah karena Allah. Biasakanlah dirimu karena Allah di segala keadaan.
Disarikan dari youtube dan bisyarah.
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Sayyidina Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya. Berkata Imam Nawawi - semoga Allah merahmatinya dan memberikan kemanfaatan kepada kita dengan keberadaannya dan semua ulama.
Dari hadits yang kelima, dari Abu Hurairoh (semoga Allah meridhoinya), sesungguhnya Rasulullah SaW berkata,
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata kebaikan atau diamlah. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah menghormati tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah menghormati tamunya.”
(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Hadits ini pada awalnya berhubungan dengan hadits yang sebelumnya dan kita sudah membacanya bahwa sesungguhnya dari sebagian kesempurnaan iman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak ada arti/manfaatnya. Kami telah menyebutkan bahwa yang termasuk sebagian daripada sesuatu yang tidak ada artinya adalah berlebih-lebihan secara umum, dan terutama berlebih-lebihan dalam berbicara. Dan di sini Rasulullah SAW mengkhususkan dalam hal ini dengan berkata, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata sesuatu yang baik atau diamlah.”
Diam dan tidak berkata apa-apa daripada sesuatu yang tidak ada artinya adalah sukuut ikhtiyaariy (diam karena pilihan kehendak sendiri). Karena manusia terkadang diam, akan tetapi itu karena bohong, sakit, lemah, atau rasa takut. Adapun yang dimaksud disini adalah sukuut ikhtiyaariy, seseorang yang mencegah lisannya daridapa berbicara. Dikatakan bahwa sesungguhnya syahwatil kalam (nafsu untuk berbicara) lebih berbahaya daripada syahwatit tho’am (nafsu untuk makan). Ini termasuk diantara syahwat yang paling berbahaya.
Di sini, sikap diam adalah termasuk sebagian daripada hikmah yang luar biasa. Demikian juga, sikap diam ini adalah termasuk haal (keadaan) sebagian besar orang-orang sholeh, dimana sesungguhnya mereka pada umumnya sedikit berbicara. Anda akan tahu hikmah pada seseorang dari lamanya dia bersikap diam. Dan sesungguhnya sikap lama tidak berbicara akan memancarkan hikmah pada hati seorang mukmin, jika ia membiasakan dirinya lama tidak berbicara, ia tidak berbicara kecuali berdzikir kepada Allah kecuali jika ada kebutuhan. Karena itu, seseorang itu selama ia tidak berbicara, maka ia berada dalam keadaan aman.
Diceritakan bahwa Nabi SAW pada malam Isra’ Mi’raj melihat seekor ular keluar dari suatu lubang dan kemudian ular itu ingin kembali ke lubang itu akan tetapi ia tidak bisa. Kemudian beliau bertanya kepada Jibril, “Apa itu wahai Jibril?.” Maka Jibril menjawab, “Itu adalah orang yang berkata dengan suatu kalimat melayang di angkasa, kemudian ia ingin mengembalikan perkataannya tadi, akan tetapi ia tidak mampu.”
Oleh karena itu, dikatakan bahwa Allah menciptakan mulut itu dengan dua penjaga. Penjaga yang pertama adalah gigi-gigi. Penjaga yang kedua adalah kedua bibir. Mulut dikunci dengan gigi-gigi dan kedua bibir. Sedangkan telinga, tidak ada di sana penjaga. Ini dimaksudkan bahwa anda hendaknya lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sebagian manusia tidak suka mendengar. Mereka hanya suka berbicara. Cobalah anda lihat, ketika anda duduk-duduk (di perkumpulan), ada orang yang sukanya berbicara. Jika ada orang lain yang berbicara, ia tidak mau mendengar. Jika ia berbicara, ia menginginkan orang lain mendengarkan bicaranya. Ini merupakan cacat dan aib. Dan oleh karena itu, hendaklah seseorang membiasakan dirinya atas keadaan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata kebaikan atau diamlah.”
Karena sebab itu, sebagian daripada orang-orang sholeh menaruh batu di mulut mereka. Pernah suatu ketika salah seorang masyaikh (guru) sedang berbicara. Pada saat itu ada suatu masalah atau pertanyaan dan tiba-tiba salah seorang muridnya nyeletuk menjawabnya. Sang murid begitu gembira karena ia dapat menjawab masalah tersebut. Sang masyaikh berkata, “Masya Allah. Barakallah fiika wahai anak muda. Keluarlah dan ambilkan aku batu.”
Keluarlah sang murid dengan gembiranya tanpa mengira bahwa gurunya ingin memberikan pelajaran kepadanya dengan batu itu. Setelah sang murid mengambil batu itu, sang masyaikh berkata, “Cucilah batu itu.”
Setelah itu ia mencucinya dan menyerahkan ke gurunya dengan perasaan senang. Lalu sang masyaikh berkata, “Taruhlah batu itu di mulutmu.”
Hal ini untuk memberikan pelajaran agar seseorang itu belajar adab dan tidak cepat-cepat berbicara sebelum diberikan kesempatan.
Karena itu, pernah suatu saat berkumpullah para ulama, berdebat mengenai suatu masalah, dan disana ada Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq sedang duduk bersama mereka. Disaat mereka saling berbicara dan berdebat satu sama lain, dan disitu ada Imam besar mereka, orang yang mengerti hukum di jaman itu, bahkan beliaulah pendiri ilmu figih, Al-Imam Ja’far, beliau ditanya, “Wahai Imam, mengapa engkau tidak berbicara?.”
Beliau menjawab, “Kami adalah suatu kaum yang tidak berbicara kecuali jika ditanya. Kami tidak berbicara yang tidak perlu kecuali jika kami diam, lalu ditanya suatu masalah, maka kami menjawabnya sepanjang yang kami ketahui.”
Itulah mereka ahlul adab (orang yang mempunyai adab), radhiyallohu anhum wa ardhoohum.
Itulah hikmah daripada orang-orang yang tidak suka berbicara. Dan ini adalah riyadhoh (melatih diri) daripada bentuk riyadhoh-riyadhoh yang lain. Ini juga dipraktekkan oleh orang-orang Hindu, mereka membiasakan diri mereka dan bermujahadah daripada bersikap diam dan duduk di tempat-tempat yang gelap sampai dapat menundukkan nafsu. Adakalanya bahwa di dalam diri terdapat kekuatan, sampai seseorang dapat menjatuhkan sesuatu dari jauh tanpa memukulnya. Ini karena sebab ruh mempunyai kekuatan. Akan tetapi seorang mukmin menginginkan ruhnya bersih dalam bermuamalah kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala.
Begitu juga yang terjadi pada para sahabat radhiyallohu anhum, mereka tidak berbicara kecuali dalam kebaikan. Bahkan seringkali terjadi pada orang-orang sholeh yang berkumpul pada satu tempat, mereka tidak berbicara satu sama lain pada masa yang lama. Satu sama lain berpikir karena masing-masing dari mereka sibuk dengan keadaan mereka dan kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala.
Dan berbicara mengenai diam adalah sangat panjang. Kami menunjuk pada sebagian darinya. Kesimpulannya apa yang saya sampaikan kepada kalian adalah bahwa kalian hendaklah membiasakan diri untuk tidak banyak berbicara, karena sikap suka berbicara itu ada kelezatan.
Begitu juga, sebagaimana di dalam sikap diam adakalanya terdapat kebaikan, maka adakalanya di dalam sikap berbicara itu juga terdapat kebaikan. Kami bertanya kepada guru kami Al-Habib Abdul Qodir (bin Ahmad Assaggaf) - semoga Allah memberikan kenikmatan kepada kami dengan hidupnya di dalam kebaikan dan kesehatan, “Kami kuatir daripada syahwatil kalam sewaktu mengajar kepada orang lain. Kami kuatir ini termasuk dalam syahwat, keluar daripada nafsu. Maka doakanlah kami.”
Maka beliau menjawab, “Begitu juga dalam sikap diam, terkadang juga terdapat syahwat. Sebagaimana dengan berbicara terkadang kita menginginkan suatu ketenaran, maka terkadang di dalam sikap diam kita menginginkan juga suatu ketenaran. Sehingga orang lain menilainya, 'Orang ini berwibawa.' Maka ia diam supaya orang lain menilai, memuji, melihat, dan mengagungkannya seperti itu. Dan ini semuanya tidaklah membawa kemanfaatan dan kemudharatan."
Maka jika anda ingin berbicara, berbicaralah karena Allah. Dan jika anda ingin diam, maka diamlah karena Allah. Biasakanlah dirimu karena Allah di segala keadaan.
Disarikan dari youtube dan bisyarah.
Surat Al A'laa
Oleh : Alhabib Shodiq bin Abubakar Baharun
"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya). Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk. Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan. Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman."
(QS. Al A'laa : 1 - 5)
Di dalam surat Al A'laa dari ayat 1 - 5 mengajarkan kepada kita agar kita tahu tentang Allah Swt bahwa Allah Swt yang menciptakan alam semesta, dan kita dianjurkan untuk ber-tasbih (memuji Allah Swt dengan mengucapkan subhanallah) ketika kita "membaca" tentang alam semesta, ketika kita melihat keindahan alam semesta, ketika kita mengetahu manfaat semua bagian dari alam semesta.
"Kami akan membacakan (Al Qur'an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa. Kecuali kalau Allah menghendaki, sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. Dan Kami akan memberi kamu taufik kepada jalan yang mudah."
(QS. Al A'laa : 6 - 8)
Pada ayat ke 6 - 8 surat Al A'laa menjelaskan tentang alam yang tampak atau pun tidak. Apabila kita menghayati alam semesta lahir dan batin maka kita akan dipermudah untuk memahami fenomena-fenomena kehidupan yang sebenarnya.
"Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat. Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran. Orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka)."
(QS. Al A'laa : 9 - 12)
Ayat ke 9 - 12 dari surat Al A'laa menjelaskan bahwa agar kita menerima peringatan atau nasehat dari semua orang selama nasehatnya atau peringatannya itu baik (sesuai dengan Rasulullah Muhammad Saw lewat ulama' yang khoir). Apabila kita tidak mau menerima peringatan atau nasehat dari orang lain maka kita akan celaka di dunia dan di akhirat. Yaitu celaka yang benar-benar celaka (nanti akan dibakar di neraka dan termasuk orang yang sombong karena tidak mau menerima kebaikan)!
Jika sudah celaka seperti itu, maka di ayat selanjutnya (yaitu ayat ke-13) dijelaskan bahwa kita akan "gentayangan" yaitu tidak hidup dan tidak mati, artinya kita tidak akan mempunyai harapan hidup. Kita akan sama sekali hampa jika tidak mau menerima nasehat berupa kebaikan dari orang lain.
"Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup."
(QS. Al A'laa : 13)
Di ayat ke-14 dan ke-15, yaitu :
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang."
(QS. Al A'laa : 14 - 15)
Di dua ayat tersebut kita diperintah oleh Allah Swt untuk mengingat Allah Swt, mengingat tentang dzat pencipta alam semesta, mengingat (dzikir) dengan lesan kita yaitu mengucapkan wirid-wirid dan mengingat dengan menggunakan badan kita yaitu sholat.
Sebagaimana Rasulullah Muhammad Saw menerangkan bagaimana yang sebenarnya tentang dzikir, tentang mengingat Allah Swt dan tentang sholat. Ingatlah, orang yang melakukan syari'at dengan sungguh-sungguh adalah orang yang beruntung di dunia dan di akhirat. Jika kita berdzikir dengan lesan kita dan kita melakukan sholat yang diikuti dengan pembersihan jiwa maka kita termasuk orang yang beruntung di dunia dan di akhirat.
"Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu. (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa."
(QS. Al A'laa : 16 - 19)
Sebagaimana tertera di ayat ke-16 sampai dengan ayat ke-19 bahwa akhirat itu lebih kekal kebaikannya, lebih kekal kenikmatannya jika dibandingkan dengan kebaikan dan kenikmatan yang ada di dunia. Inilah yang dijelaskan di dalam kitab-kitab sebelum Alqur'an yaitu kitab nabi Ibrohim As dan kitab nabi Musa As.
Arti keseluruhan dari surat Al A'laa ini adalah semua manusia dari manapun dia berasal dan dari agama apapun dia dianjurkan oleh Allah Swt untuk beribadah dengan dhohir mereka dan dengan batin mereka. Dhohir berupa dzikir (lewat lesan dan perbuatan misalnya perbuatan mengingat Allah Swt dengan jasad yang paling utama adalah sholat) dan batin merupakan pembersihan jiwa. Sebagaimana yang tertera di dalam kitab-kitab terdahulu sebelum Alqur'an. Wallahu a'lam bishshowab.
"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya). Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk. Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan. Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman."
(QS. Al A'laa : 1 - 5)
Di dalam surat Al A'laa dari ayat 1 - 5 mengajarkan kepada kita agar kita tahu tentang Allah Swt bahwa Allah Swt yang menciptakan alam semesta, dan kita dianjurkan untuk ber-tasbih (memuji Allah Swt dengan mengucapkan subhanallah) ketika kita "membaca" tentang alam semesta, ketika kita melihat keindahan alam semesta, ketika kita mengetahu manfaat semua bagian dari alam semesta.
"Kami akan membacakan (Al Qur'an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa. Kecuali kalau Allah menghendaki, sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. Dan Kami akan memberi kamu taufik kepada jalan yang mudah."
(QS. Al A'laa : 6 - 8)
Pada ayat ke 6 - 8 surat Al A'laa menjelaskan tentang alam yang tampak atau pun tidak. Apabila kita menghayati alam semesta lahir dan batin maka kita akan dipermudah untuk memahami fenomena-fenomena kehidupan yang sebenarnya.
"Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat. Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran. Orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka)."
(QS. Al A'laa : 9 - 12)
Ayat ke 9 - 12 dari surat Al A'laa menjelaskan bahwa agar kita menerima peringatan atau nasehat dari semua orang selama nasehatnya atau peringatannya itu baik (sesuai dengan Rasulullah Muhammad Saw lewat ulama' yang khoir). Apabila kita tidak mau menerima peringatan atau nasehat dari orang lain maka kita akan celaka di dunia dan di akhirat. Yaitu celaka yang benar-benar celaka (nanti akan dibakar di neraka dan termasuk orang yang sombong karena tidak mau menerima kebaikan)!
Jika sudah celaka seperti itu, maka di ayat selanjutnya (yaitu ayat ke-13) dijelaskan bahwa kita akan "gentayangan" yaitu tidak hidup dan tidak mati, artinya kita tidak akan mempunyai harapan hidup. Kita akan sama sekali hampa jika tidak mau menerima nasehat berupa kebaikan dari orang lain.
"Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup."
(QS. Al A'laa : 13)
Di ayat ke-14 dan ke-15, yaitu :
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang."
(QS. Al A'laa : 14 - 15)
Di dua ayat tersebut kita diperintah oleh Allah Swt untuk mengingat Allah Swt, mengingat tentang dzat pencipta alam semesta, mengingat (dzikir) dengan lesan kita yaitu mengucapkan wirid-wirid dan mengingat dengan menggunakan badan kita yaitu sholat.
Sebagaimana Rasulullah Muhammad Saw menerangkan bagaimana yang sebenarnya tentang dzikir, tentang mengingat Allah Swt dan tentang sholat. Ingatlah, orang yang melakukan syari'at dengan sungguh-sungguh adalah orang yang beruntung di dunia dan di akhirat. Jika kita berdzikir dengan lesan kita dan kita melakukan sholat yang diikuti dengan pembersihan jiwa maka kita termasuk orang yang beruntung di dunia dan di akhirat.
"Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu. (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa."
(QS. Al A'laa : 16 - 19)
Sebagaimana tertera di ayat ke-16 sampai dengan ayat ke-19 bahwa akhirat itu lebih kekal kebaikannya, lebih kekal kenikmatannya jika dibandingkan dengan kebaikan dan kenikmatan yang ada di dunia. Inilah yang dijelaskan di dalam kitab-kitab sebelum Alqur'an yaitu kitab nabi Ibrohim As dan kitab nabi Musa As.
Arti keseluruhan dari surat Al A'laa ini adalah semua manusia dari manapun dia berasal dan dari agama apapun dia dianjurkan oleh Allah Swt untuk beribadah dengan dhohir mereka dan dengan batin mereka. Dhohir berupa dzikir (lewat lesan dan perbuatan misalnya perbuatan mengingat Allah Swt dengan jasad yang paling utama adalah sholat) dan batin merupakan pembersihan jiwa. Sebagaimana yang tertera di dalam kitab-kitab terdahulu sebelum Alqur'an. Wallahu a'lam bishshowab.