Oleh : Yusa Nugroho
Ibu-ibu dan bapak-bapak tetangga barusan pulang dari ziarah ke makam-makam wali di Jawa dan Madura. Macam-macam tanggapan mereka yang ikut dan mereka yang tidak ikut, ada yang complain seperti ini "Buat apa jauh-jauh ke kuburan begitu? Kalau mau lihat kuburan kan di sini banyak!"...atau..."Itu kan bid'ah!". Ah, biarkan saja mereka yang tidak suka ziarah. Tapi entah disengaja atau tidak, obrolan kami yang lagi "cangkrukan" di sini juga menyinggung masalah itu...tidak persis sih tapi asyik juga buat diobrolin.
"Doa penting bagi juru doa yang biasa mangkal di pekuburan. Kalau nggak ada yang minta doa dapurnya nggak ngebul. Juru doa ada karena ada konsumen. Apakah benar juru doa memudahkan terkabulnya doa? Padahal konsumen sudah bayar, gimana ya? Bagaimana menyingkapi fenomena ini?", tanya ustadz Jaduq sambil minum kopi.
Sambil menyeruput kopi, mas Ribut mengomentari, "Hmmm...rejeki itu bisa datang darimana saja, termasuk yang panjenengan sebutkan tadi. Yang lebih baik dihindari adalah tidak mengeluh dan tidak kecewa kalo tidak ada yang memberi uang.". Mas Ribut kembali minum kopinya...ssslllrrrppp...."Aaahhh, nikmat...!", desahnya pelan.
Ustadz Jaduq diam sebentar sebelum akhirnya dia berkata, "Juru doa selalu menang dalam berdoa. Pas konsumen kosong 'Tuhan beri aku rezeki'... Lalu konsumen datang, artinya doa dia dikabulkan. Konsumen minta doa 'Siapa namamu..?' (tanya juru doa kepada konsumen)... 'Badu'. 'Ya Tuhan beri Badu kesehatan... diringankan jodoh dsb dsb'. Tugas juru doa atau kuncen selesai. Hasil sukses nggak sukses gak dijaminkan? Terserah yang di Atas.
Biasanya di agama itu ada konsep : 'Sakralitas', bisa berupa manusia (wali atau kyai dsb), bisa berupa tempat suci (masjid, pekuburan wali, Mekah atau Madinah) dan juga ada waktu suci (puasa, diantara kutbah, dini hari 1/3 malam dsb-dsb). Semakin suci tempat atau orang atau waktu maka kemungkinan doa terkabul semakin besar, gimana menyikapi fenomena ini? Sebenarnya siapa yang berhak menyebut suatu tempat itu suci? Kan hanya kesepakatan? Let say kuburan wali songo, wali hanya diketahui wali, siapa yg tahu dia itu wali? Kenapa 'ngefek' ke pekuburannya jadi sakral? Ada yang mau coba bahas?"
Menarik-kah? Entahlah, yang jelas kebanyakan bapak-bapak dan ibu-ibu yang ikut "cangkrukan" saling bisik-bisik dengan orang yang di sebelahnya. Sepertinya hanya mas Ribut yang rada serius, lihat dia mengerutkan dahinya tanda bahwa dia berpikir apakah ustadz Jaduq ini sekedar pancingan ataukah benar-benar bertanya...hmmm...
Ya sudah biarin ajalah...begitu pikir mas Ribut. "Orang mulia karena kedekatannya kepada Allah Swt. Orang yang dekat kepada Allah Swt tentu banyak mengingat Allah Swt. Sedangkan setiap benda menyerap apa yang dibacakan kepadanya, di dekatnya dsb. Tempat mempunyai pengaruh kepada kita karena di sana pernah atau sering digunakan sebagai tempat untuk dibacakannya Alqur'an misalnya, digunakan untuk tempat berbagi kebaikan, tempat ajar-mengajar, tempat untuk mengingat Allah Swt dsb.
Kebaikan itu akan pernah hilang hanya berubah bentuk seperti halnya es batu, air dan uap. Ketiganya adalah sama, air yang didinginkan menjadi es batu, es batu yang dipanaskan berubah bentuk jadi uap dan uap yang terkumpul banyak di awan jatuh menjadi air hujan atau embun. Itu membuat tempat itu menjadi lebih asyik untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kalau tempat itu adalah masjid maka masjid menjadi tempat yang asyik untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, kalau tempat itu rumah maka rumah itu menjadi tempat yang asyik untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sebagaimana makam-makam para wali, di sana banyak orang membaca Alqur'an, menyebut dan mengingat Allah Swt. Demikian juga dengan waktu... Bukan pekuburannya yang memberi manfaat kepada kita, itu hanya perantara saja, sangat keliru kalo ada yang berharap kepada kuburan. Hanya Allah Swt yang Maha Memberi.". Mas Ribut tampak bersemangat.
"Kalau menurut saya...", seorang profesor menyela, "Kalau merasa hal itu perlu dilakukan ketempat-tempat tsb, untuk melakukan DOA, menurut saya, silahkan sajalah manusia punya 'free will', kita menghormatinya tanpa adanya suatu pemaksaan ato penolakan."
Ustadz Jaduq meletakkan gelas kopinya, "Mungkin corcern saya adalah siapa sih sebenarnya yang boleh mendefinisikan sakralitas atau kesucian dari waktu atau tempat dan manusianya? Apakah komunitas atau klaim pribadi atau Allah melalui Nabi?"
"Hmmm...hanya Allah Swt yang Maha Mengetahui tentang kesucian tempat dan waktu serta manusia, kita hanya mendapatkan pemahaman tentang segala sesuatu dari orang sekarang dan orang terdahulu yang berkompeten. Selama di sana digunakan untuk tempat kebaikan maka insya Allah akan mendatang kebaikan bagi yang datang ke sana atau pun tidak.", ujar mas Ribut sambil menyenggol pak Raden biar ikut bicara.
"Mungkin pak Raden ingin urun rembug? Monggo, den...", mas Ribut mempersilahkan pak Raden.
"Eh...ya ya ya...soal juru do'a sebagai profesi - ini lebih pada adab kepatutan, para profesional sungguhan (pekerja) pasti akan merasa bahwa profesi 'gampang' itu bisa jadi hanya bungkus kemalasan dalam melakoni sulit dan kerasnya dunia kerja - tapi nanti dulu....mereka para pekerja do'a ternyata dibutuhkan oleh masyarakat...benar juga pak konsumen yang menjadikan mereka exist...ada juga memang yang tulus - ini yang cukup sulit diidentifikasi..dan ditemukan. Effektifitas do'a..ya 100% Kuasa Alloh buat goal tidaknya sebuah hajat... Pertanyaan selanjutnya mengapa disucikan (motif atau tujuan)? Apakah benar-benar suci ? Atau dimana letak kesuciannya? Monggo saya menyimak....", kata pak Raden.
"Matur nuwun, den...hmmm...kenapa disucikan? Hmmm...ya karena dekat dengan Allah Swt, den. Barang siapa kumpul dengan orang-orang yang dekat dengan Allah Swt maka kita juga makin ingat kepada Allah Swt...yang selanjutnya akan membantu kita mendekatkan diri kepada Allah Swt. Semoga yang dekat dengan yang baik jadi ketularan baiknya...ndak mutlak sih tapi usaha ndak apa-apa tho, den? Menawi ngaten, den...", mas ibut mencoba menanggapi pertanyaan pak Raden.
DUUKKK...! Sikutan keras pak Raden menohok dada mas Ribut.
"Ada apa, den?", tanya mas Ribut pelan sekali biar yang lain tidak dengar.
"Wah ngawur dan den dan den...besok aku tidak mau lagi bicara kalau kau panggil aku dan den dan den gitu! Memangnya jaman kolonial...!!!!". Pak Raden marah.
"Jangan marah tho, den, saya kan cuman memanggil begitu karena panjenengan keturunan darah biru...", mas Ribut beralasan.
"Den itu Raden, gelar bangsawan trah Dalem utowo gelar kolonial feodal starta atas.... Lha emang meh kembali kemasa Hindu ada kasta dst... Rosul ae ada usaha nyata menghapus perbudakan kok arep nunggang jaran kuwalik...!"
"Lha nggih, panjenengan kan keturunan nan nDalem, memang pantas saya panggil 'den'...nggih sampun, saya harus panggil panjenengan siapa? 'Pak'? Nanti dimarahi lagi 'emangnya aku bapakmu!'. 'Mas'? Nanti dimarahi 'emangnya aku masmu!'...duh, kok ribet banget tho, Gustiii..."
"Hahahahaha...", tawa pak Raden membahana membuat orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke pak Raden dan mas Ribut. "Yo wis...terserah kau mau panggil aku apa...!", kata pak Raden pelan di telingaku sambil cekikikan.
"Nggg...ada apa, mas Ribut?", tanya ustadz Jaduq heran melihat tingkah keduanya.
"Ndak apa-apa, ustadz...!", jawab mas Ribut sambil membetulkan sarungnya yang kurang rapi.
Ustadz Jaduq kembali bertanya ke mas Ribut, "Oh ya, tentang pendapat sampeyan tadi memang benar, menurut ahli hikmah demikian adanya. Jadi, ada tempat yang mengandung energi besar dan ada tempat yang tidak ada energinya. Petilasan para wali biasanya memiliki energi besar, biasanya dicari oleh para penyerap energi. Adakah sampeyan bisa menjlentrehkan ini kenapa bisa terjadi?"
"Makam para wali banyak mendapat perhatian dari banyak orang dari berbagai macam kepercayaan dan banyak kepentingan bertemu di sana. Mereka mencurahkan seluruh perhatian kepadanya..."nya" di sini bermacam-macam, ada yang perhatiannya kepada Allah Swt, ada yang kepada tujuan duniawinya saja, ada yang tujuannya karena ingin dapat ilmu, ada yang ingin ketemu wali tsb dsb...banyak...perhatian tercurahkan di sana.
Disamping di sana dimakamkan jasad wali, jasad dari orang-orang yang dekat dengan Allah Swt, juga di sana orang-orang banyak yang melakukan kebaikan maka makin bertambahlah kebaikan di sana. Kebaikan di atas kebaikan.
Apa yang dilakukan pada suatu tempat akan mendatangkan energi pada tempat itu, jika yang dilakukan adalah kebaikan maka energinya juga asyik, jika yang dilakukan adalah keburukan (tidak ada usaha mengingat Allah Swt) maka energinya hiiii...(serem)...energi yang asyik mendatangkan keasyikan2 yang lain, energi yang hiiii...(serem)...mendatangkan mereka2 yang hiiii...(serem)...juga. Hmmm...kira-kira mereka menyerap energi untuk apa ya, pak? Pak Raden saya rasa bisa menjelaskannya, silahken den... Terima kasih."
Pak Raden diam, cuek...ngambek!
"Baik, Allah itu spaceless (tidak ada ruang) dan timeless (tidak ada waktu). Bagaimana bisa tahu dia dekat dengan Allah? Paling membahasakannya karena effort mencoba mendekati Allah karena konsepsi manusia belaka bukan? Apakah karena mereka rajin ke tempat ibadah terus disebut suci dan dekat kepada Allah? Jangan-jangan justru mereka terpana karena image tempatnya (asosiatif : tempat suci, orang jadi suci), bisa jadi lho ada gelandangan yang tinggal dimana saja justru hatinya nyambung terus ke Allah.. harta malah tidak diliriknya, bukankah sebutan suci ini semu belaka?", kata ustadz Jaduq.
"Aaahhhh...semua bisa, pak...kalo perbandingannya Allah Swt maka semua tidak nyata. Selama mereka dekat kepada Allah Swt, maka mereka orang mulia."
"Mas Ribut, ini teman saya telpon, dia tanya untuk bisa 'berdekatan' seperti yang sampeyan katakan tadi, bagaimana caranya? Apakah bisa di samakan analoginya dengan saya mencoba 'mendekati' suatu 'pribadi' atau 'entitas' tertentu? Menurut sampeyan gimana, mas?"
"Hehehehehe...sekarang ini posisi saya berjauhan dengan teman panjenengan tapi serasa dekat karena bertanya ke sana dengan menelepon panjenengan. Jasad saya dan teman panjenengan berjauhan, tapi kita merasa dekat dengan perantara telepon...akan terasa dekat lagi kalau kami ketemuan, saling bicara-bicara, klop dan wuiiihhh...makin tambah deket deh. Bisa jadi seperti itu "kedekatan" yang teman panjenengan tanyakan...dekati Allah Swt dengan dhohir dan batin kita. Kalo menurut Islam, dhohir-nya sholat atau puasa atau baca wirid atau do'a atau amal atau saling menasehati dsb...batinnya bersyukur atau ikhlas atau sabar atau pasrah atau tawakal dsb..."
"Baik, mas, terima kasih.", kata ustadz Jaduq sambil mengakhiri obrolan ini, sudah sore...kapan-kapan disambung lagi insya Allah.
No comments:
Post a Comment
Silahkan sampaikan tanggapan Anda atas tulisan di atas.