Oleh : Yusa Nugroho
Suatu saat ketika orang-orang dari berbagai macam keyakinan berkumpul duduk-duduk sambil minum teh, kopi dan gorengan di sore hari itu, tiba-tiba salah seorang diantara mereka (sebut saja namanya bapak Sepuh) membuka obrolan.
"Ada 4 (empat) jalan menuju 'kasunyatan' (kenyataan), yaitu ilmu pengetahuan, filsafat, agama dan seni."
Menurut seorang sebelumnya (salah satu diantara mereka) "kasunyatan" adalah tidak bisa dijelaskan dengan syari'at (red. entah syari'at yang seperti apa yang dia maksudkan), semisal kalau lapar ya ini "kasunyatan" (kenyataan) bahwa kita lapar...tidak butuh ayat untuk menyakinkan bahwa ini lapar. Kalau lapar ya makan, kalau mengantuk ya tidur, kalau capai ya istirahat dsb.
Hmmm...seorang mas-mas mengerutkan dahinya bagaimana bisa tidak memakai syari'at padahal menurutnya syari'at (aturan) itu pasti ada dalam setiap hal.
Setelah mengatur nafas si mas lalu bertanya,
"Saya ada beberapa pertanyaan, pertama diantara 4 (empat) jalan menuju 'kasunyatan' yang bapak sampaikan di bawah, mana yang lebih utama dibandingkan dengan lainnya, pak, filsafat-kah atau ilmu pengetahuan-kah atau agama-kah atau seni-kah?
Kedua, bapak mengatakan bahwa 'kasunyatan' tidak bisa diterangkan dengan ilmu agama (syari'at)...hmmm...setahu saya apapun itu ada sisi luar dan ada sisi dalamnya, kalau dikatakan syari'at itu sisi luar agama...nah bagaimana dengan sisi dalamnya agama, pak, apakah masih juga tidak bisa menjelaskan tentang kasunyatan ini, pak?
Bapak tadi mengatakan bahwa contoh 'kasunyatan' itu diantaranya kalo lapar ya makan tidak perlu pake ayat segala. Cmiiw. Hmmm...benar tapi kalo ingin menambahi dengan tata krama makan gimana, pak? Sedangkan Nabi Saw (menurut Islam) adalah orang yang paling baik mencontohkan bagaimana tata krama makan yang indah dan sehat, itu diketahui lewat hadits atau kitab-kitab kuno yang merujuk kepada Alqur'an. Atau kalo lapar ya makan aja tanpa memperhatikan tata krama, pak? Orang jawa dikenal mengedepankan tata krama dalam segala hal. Cmiiw. Bagaimana menurut bapak? Matur nuwun."
Suasana agak sepi setelah pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan, bapak Sepuh yang ditanya belum menjawab. Tapi itu tidak berlangsung lama sebab seorang bapak yang baru saja datang (sebut saja bapak Tua) langsung menanggapinya dengan nada kurang mengenakan untuk didengar.
"Huiiiiiiiiiikkk... Mohon ma'af...ikutan nyelani, habisnya saya kok tergelitik dengan pertanyaan-pertanyaan mas yang tadi yaitu menurut mas tadi bahwa Nabi Saw (menurut Islam) adalah orang yang paling baik mencontohkan bagaimana tata krama makan yang indah dan sehat, itu diketahui lewat hadits atau kitab-kitab kuno yang merujuk kepada Alqur'an. Itu menurutnya.
Tanggapan saya...makan 'muluk' (makan pakai tangan) nggak pake sendok? Makan sayuran diobok-obok bergiliran? Selesai makan tangan 'diklamutin' (nggak dicuci )? Gosok gigi pake akar-akaran (siwak )? Di jaman seperti sekarang ini, contoh seperti diatas masih bisa dikatakan indah dan sehat?
Biar aku asli wong jowo, nek niru-niru toto kromo koyo mengkono yo emoh tenan aku pak..pak...nggilani....kemproh kuwi arane! (red. Biar aku asli orang jawa, tapi kalau meniru-niru tata krama seperti itu ya aku benar-benar tidak mau pa..pak...menjijikan itu namanya!)
Rujukan boleh saja pake Hadits dan teks book Kitab Alqur'an tapi jangan telan mentah-mentah secara harfiah..ora enak rasane tur akeh pulute (red. Tidak enak rasanya dan banyak getahnya). Hadits itu pendapat seseorang pada Jaman kolo bendhu (jaman Sepur Lempung ) yang belum tentu valid dan cocok di cita rasa kita yang hidup di jaman sekarang ini. Kalau cocok dipakai, kalau nggak pas dirasa...simpen saja dalam kotak lemari. Sesuatu yang nggak cocok lagi terus kita paksakan itu namanya merugikan diri sendiri, nek boso Podhokane, boso Pesantrene mendzolimi diri sendiri."
Suasana mulai memanas...si mas yang bertanya tadi langsung merasakan kemarahan di dadanya...bluuurrr...seperti kayu kering disiram minyak dan dibakar tiba-tiba. Dia diam tidak menanggapi, dia ingin menganggapi tapi tidak sekarang...dia mengatur nafas dan ngobrol dengan orang-orang di sebelahnya agar rasa marah ini surut. Setelah beberapa jam rasa marahnya surut, dia lalu mencoba menanggapinya dengan sesopan mungkin agar tidak menyinggung bapak itu dan maksudnya tersampaikan.
"Salaf (orang-orang terdahulu) adalah orang-orang yang dikenal sangat dekat dengan Tuhan, lihatlah bagaimana ilmu-ilmu mereka, lihatlah bagaimana amal-amal mereka, lihatlah bagaimana ibadah mereka, lihatlah mereka tidak melupakan adab meski mereka mempunyai ilmu yang sangat tinggi, mereka dikenal mulia karena mereka mengikuti kebiasaan-kebiasaan mulia yang sebagian kebiasaan-kebiasaan itu saat ini dianggap menjijikkan dan tidak sesuai jaman. Orang-orang mulia pasti mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang baik, yang mana kebaikkan itu tidak lekang oleh jaman. Ketika Nabi Saw mengatakan jangan makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang, maka ini bermanfaat sekali terhadap kesehatan kita...ini juga diakui hingga saat ini.
Semua hal itu ada kulitnya dan ada isinya, begitu juga dengan kebiasaan makan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Tidak mungkin beliau Saw mengajarkan / mencontohkan hal-hal yang tidak ada isinya, mungkin bagi sebagian orang kebiasaan-kebiasaan itu terkesan menjijikan tapi seorang Nabi tidak akan mengajarkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi kita.
Kalau panjenengan tidak berkenan dengan kebiasaan-kebiasaan tersebut ya saya tidak bisa memaksa panjenengan untuk suka, hanya saja ada baiknya dilihat apa ya makna dari kebiasaan-kebiasaan tsb, aaahhh...mungkin ini ada kebaikan bagi tubuh kita kalau dilihat dari bidang kesehatan misalnya. Seperti itu...matur nuwun."
Aaaaahhhhh...si mas tadi menghela nafas lega, maklumlah dia termasuk orang yang susah bicara ketika berhadapan dengan orang banyak. Setelah minum teh di dekatnya dan mengatur nafas, dia kemudian menunggu bagaimana tanggapan mereka. Yang dia tunggu sebenarnya jawaban dari bapak Sepuh tapi sampai saat ini belum menjawab juga beliau, entah kemana beliau kok tidak terlihat...hmmm...
"Pemahaman mengikuti konsep Sunnah Rosul memang harus difahami arif atau bijak. Memahami sesuatu tentu mengalir menikuti arus dan budaya. Para Muslimin memang mengidolakan Rosul sebagai mahluk ideal, mereka menyebutnya berpijak pada sunah Rosul. Adalah paling mudah mengikuti sesuatu yang terkonsep dalam hal ini mengikuti yang tertulis dalam untaian kata hadits secara letter lux. Mengikuti hadits secara letterlux juga berbahaya membuat stagnasi dalam Islam, karena kemajuan Islam nanti akan berakhir menjadi tak bergerak, berakhir seperti zaman rosul saja.", seorang bapak setengah baya ikut urun bicara.
"Terima kasih pak, setahu saya berspiritual atau beruniversal atau ber-'kasunyatan' atau apapun-lah sebutannya boleh...hanya saja lebih baik tidak melupakan adap atau tata krama dalam apapun juga. Seingat saya, adap yang membedakan kita manusia dengan mereka yang bukan manusia. Tata krama kita tidak sama, saya bertanya kepada bapak Sepuh dengan memisalkan secara Islam sebab saya orang Islam, apakah ber-'kasunyatan' itu tidak memperdulikan adap atau tata krama atau tidak? Silahkan bapak Sepuh menjelaskan...matur nuwun. Penjenengan benar, masing-masing punya tata krama sendiri-sendiri hanya saja tidak seharusnyalah mereka mengolok-olok tata krama orang lain.", ujar si mas sambil melirik ke bapak Tua.
Terlihat di kejauhan bapak Sepuh kembali memasuki ruangan, duduk dan tersenyum, "Jangan bermain di filsafat saja...karena tulisan esoteris atau 'kasunyatan' bukan 'kasunyatan' sendiri. Tidak bisa menghantarkan seseorang mengalami pencerahan di dalam. Apa yang dimaksud Filsafat? Pilih yang mana? Ini jebakan pertanyaan Pikiran!"
Jebakan pertanyaan pikiran? Si mas heran! "Apa yang panjenengan maksud dengan jebakan pertanyaan pikiran? Bukankah ketika kita mendengar atau melihat hal-hal yang baru bagi kita, maka akan timbul pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal tersebut pak, sebelum kita memahaminya? Ataukah menurut bapak ketika disampaikan kepada kita tentang hal-hal yang baru, apakah kita seharusnya menekan pertanyaan mana pilihan yang lebih utama diantara hal-hal tersebut?"
Bapak Sepuh tidak segera menjawab pertanyaan si mas. Bapak-bapak yang lain terlihat menikmati apa yang tersaji di hadapan mereka. Lama juga sampai akhirnya ada seorang yang memecahkan kesunyian menanggapi, "Semua ke empat pilihan itu adalah ekspresi, bila mampu ambil empat-empatnya ini hanya metodik berkomunikasi, kalau nggak bisa ya cukup satu yang paling diminati."
"Hmmm...trm ksh, pak. Pada sekilas ada yang berkata "biarkan mereka berfilsafat"...hmmm...menurut panjenengan bagaimana teknik "membiarkan" tersebut, pak? Apalagi ketika timbul pertanyaan tentang apa yang mereka sampaikan, apakah ketika melontarkan pertanyaan tersebut membuat kita 'terjerumus' ke dalam jebakan pertanyaan pikiran? Atakah biarkan mereka berkata apapun yang mereka mau tanpa boleh timbul pertanyaan dari yang mendengarkannya? Hmmm...(red. Jidat si mas berkerut?)..."
"Kita juga harus berterima kasih.kepada mereka yang mendarma-baktikan hidupnya melalui iptek. Mereka iqro' atau membaca.tulisan langsung dari alam. Luar biasa! Maka...menurut saya...(yang sering diobrolkan sama teman-teman). Pilihan terserah masing-masing dengan beragama atau tanpa agama pun silahkan saja mana yang lebih utama dan penting. Kita EGP (red. Emang Gue Pikirin) saja!", kata bapak Sepuh. Cara menyampaikannya halus memang tapi sedikit "menusuk" hati si mas dan beberapa orang.
"Baiklah, pak, saya mulai paham kemana arah pembicaraan bapak. Jangan khawatir pak, saya sudah punya pilihan sendiri hanya saja yang saya maksudkan dengan pertanyaan-pertanyaan saya adalah saya ingin tahu bagaimana bapak menjelaskan hubungan kasunyatan dengan bagian dalam dari agama (katakanlah non syari'at), apakah bisa dijelaskan atau tidak itu yang ingin saya ketahui dari bapak.
Lalu, apakah 'kasunyatan' itu harus dilakukan bebas-bebas aja tanpa terpengaruh oleh tata krama ataukah tidak, kemarin saya mencontohkan dari sisi Islam, silahkan kalo bapak ingin mencontohkan dari sisi yang lain...yang penting menjawab keingintahuan saya tentang hubungan 'kasunyatan' dengan tata krama.
Menurut saya begini pak, 'kasunyatan' itu harus tetap memakai tata krama. Misal lapar ya solusinya makan biar tidak lapar, tapi makan yang bagaimana ini? Apakah langsung makan milik orang lain tanpa ijin ataukah makan benda apapun di dekat kita ataukah mencari makanan yang layak kita makan ataukah...?
Tentu makan yang halal dan thoyib kan, pak?! Gula itu halal (selama tidak didapat dari mencuri milik orang dan tercampur hal-hal yang dilarang Islam) tapi tidak thoyib bagi penderita penyakit diabetes, jadi yang halal tidak selamanya thoyib...tergantung kondisi kita. Halal belum tentu thoyib dan begitu juga sebaliknya, ini menurut saya nah apakah menurut bapak juga demikian ataukah tidak?
...ini yang ingin saya ketahui dari bapak yaitu bagaimana pendapat bapak, jangan khawatir saya akan memilih yang terbaik bagi diri saya dan orang-orang yang terdekat dengan saya. Matur nuwun."
Si bapak Sepuh kembali diam tidak buru-buru menjawab pertanyaan si mas, padahal si mas sudah makin geregetan ingin mendengar tanggapan bapak Sepuh.
Suasana kembali memanas ketika bapak Tua berbicara, "Cara makan, gosok gigi dll yang saya sampaikan itu adalah sangat erat kaitannya dengan berbagai keterbatasan fasilitas pada masa itu. Artinya ketika Kanjeng Nabi selesai makan, terus tangannya dikelamutin sampai-sampai piringnya pun dijilatin sebenarnya karena kondisi yang saat itu kesulitan untuk mendapatkan air. Gosok gigi pake akar (siwak) yah jelas memang saat itu belum ada pabrik sikat gigi dan odol....ini realitas..!! Lah bagi saya yang terlahir di Negeri yang memiliki kultur budaya berbeda, tentu saja ogah niru-niru perlakuan seperti itu. Apakah lalu saya dikatakan tidak mengikuti sunnah Kanjeng Nabi??? Apakah lantas saya berhak menyandang predikat murtad?"
Si mas kembali mengerutkan dahinya...
"Memang benar bahwa semua yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw itu (menurut Islam) adalah sunnah, yang namanya sunnah itu silahkan dilakukan bagi mereka yang mau dan mampu untuk melakukannya...bagi mereka yang tidak mau dan tidak mampu ya tidak ada paksaan untuk melakukannya. Yang perlu ditanamkan ke dalam diri kita adalah semua yang dilakukan Nabi Muhammad Saw (menurut Islam...Nabi Isa As bagi nasrani, Nabi Musa As bagi yahudi dst) adalah bermanfaat bagi kita, tidak mungkin Nabi Muhammad Saw mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak membawa manfaat bagi kita."
"Apa yang dijelaskan bapak Tua itu baik, korelasinya dengan kemajuan Islam yang update mengikuti zamannya. Sementara si mas memiliki efek stagnan, selalu berafiliasi klasik. Memahami apa yang dipikirkan bapak Tua perlu loncatan pemahaman yang kuat mentalnya untuk tidak takut dituduh sebagai ahli bid'ah."
"Benar pak, menyesuaikan dengan keadaan sekarang memang perlu dan baik sekali, apalagi jika ditambah dengan melakukan ajaran-ajaran atau kebiasaan-kebiasaan orang-orang terdahulu yang dikenal mulia. Melakukan kebiasaan-kebiasaan orang-orang terdahulu tidaklah harus dilakukan dengan tanpa memperhatikan situsasi dan kondisi kita sekarang, justru dengan menyeimbangkan keduanya akan ditemukan kebiasaan-kebiasaan yang cocok untuk diri kita.
Nabi Muhammad Saw memang mencontohkan bersiwak, apakah jika tidak bersiwak kita menjadi murtad? Tentu tidak! Melakukan baik, tidak melakukan karena suatu alasan yang tidak meremehkan hal tersebut adalah boleh...tidak apa-apa. Bagi sebagian orang mungkin terlihat menjijikan tapi sebaiknya menghargai mereka yang melakukannya. Demikian pula sebaliknya.
Memang Nabi Muhammad Saw pernah makan dengan tangan, akan tetapi apakah jika makan pakai sendok itu menjadi ingkar sunnah? Belum tentu, tidak juga...harus dilihat alasannya dulu. Jika alasannya karena membenci Nabi Muhammad Saw maka ini yang lebih baik dihindari (bagi orang Islam khususnya). Jika tidak, maka boleh-boleh saja. Benar, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Bagi mereka yang memilih untuk makan tidak pakai sendok dengan alasan ingin ngalap barokah dari kebiasaan Nabi Muhammad Saw maka tidak sepantasnyalah kita memandang sebelah mata, sebab mereka berniat dengan bersungguh-sungguh ingin meniru Nabi Muhammad Saw.
Benar, meniru kebiasaan Nabi Muhammad Saw tidaklah akan bisa kita lakukan dengan 100% sama, hanya saja dengan keniatan karena kecintaan kita kepada beliau Saw maka kita meniru dengan semaksimal yang kita bisa. Meniru semampu kita.", si mas terlihat bersemangat sekali berbicara.
Tidak terasa mereka sudah berjam-jam mengobrol, makanan kecil sudah terlihat habis, gelas-gelas sudah kosong dari tadi tapi tidak menyurutkan obrolan mereka.
Ketika ada yang berpendapat bahwa ada sebagian orang yang mengawali dari syari'at dan ada sebagian yang mengawali dari hakikat, si mas kembali mengatakan yang memulai dari syari'at harus memahami mereka yang memulainya dari hakikat, akan tetapi sekarang ini ada yang mengaku-aku saja sudah memahami hakikat dengan melupakan atau tidak suka bicara syari'at. Berhati-hatilah!
"Padahal setahu saya...", si mas meneruskan bicaranya, "Setiap kepercayaan pasti ada syari'at-nya, syari'at = aturan. Di nasrani tentu ada syari'at, di buddha juga ada, dsb, jadi menurut saya sebaiknya kita tidak melupakan syari'at kita masing-masing. Yang Islam ya pakai syari'at Islam-nya...yang nasrani ya pakai syari'at-nya...yang buddha pakai syari'at-nya dst. Membiarkan sesuai keyakinannya ini saya pahami sebagai ke-universal-an dalam beragama, jadi menurut saya universal itu tidak mencampur-adukan satu keyakinan dengan keyakinan yang lainnya. Dan, satu hal, semuanya tentu ada syari'at-nya, ada aturannya, ada caranya...meski masing-masing berbeda."
Si bapak Tua tidak sependapat dengan si mas, "Pendapat panjenengan akan terbantahkan dengan kisah Musa dan Khidhir mas! Ada masanya syari'at akan runtuh dan gugur jika masuk dalam wilayah hakikat, terlebih lebih masuk dalam wilayah ma'rifat. Jika kita saklek...selalu berpegang kuat di syari'at, maka segala tingkah polah si Khidhir jelas akan batal demi hukum...njih nopo mboten?"
"Syari'at, hakikat dan ma'rifat itu satu paket...tidak dapat dipisah-pisahkan, termasuk dalam hal kasunyatan juga pasti terdapat ketiga hal tsb. Ketika bapak Sepuh dan kawannya mengatakan bahwa 'kasunyatan' tidak bisa dijelaskan dengan syari'at maka saya tidak sependapat sebab tiga hal itu tidak bisa dipisahkan. Dalam setiap hal pasti ada tiga itu.
Syari'at itu tidak saklek setahu saya pak, ketika kita tidak tahu atau ketika kita lupa atau ketika kita dalam keadaan terpaksa maka syari'at (aturan) ikut menyesuaikan situasi kondisi kita. Saya rasa itu yang terjadi dalam kisah Nabi Musa As dan Nabi Khidhir As, antara keduanya berbeda pandangan maka syari'at yang mereka pakai juga tidak sama...menyesuaikan saja. Jadi berhakikat pun tetap pakai syari'at, pakai aturan!
Hmmm...pertanyaannya adalah apakah yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Musa As dan Nabi Khidhir As tsb, apakah berarti kita boleh meremehkan syari'at (aturan)? Tentu tidak... Pertanyaan kedua, apakah maqom kita sama dengan maqom Nabi Khidhir As sehingga kita bisa berbuat seperti Nabi Khidhir As? Menurut saya, ilmu kita tidak akan bisa menyamai ilmu para Nabi. Kalau tidak bisa menyamai, apakah kita bisa berbuat seperti Nabi Khidhir As? Hmmm...tentu tidak...!"
...berhati-hati dengan siapa kita berkumpul adalah sangat membantu kita mendekatkan diri kepada Allah Swt. Berkumpulah dengan orang-orang yang baik yang mendekatkan dirinya kepada Allah Swt dengan tidak melupakan adab dan tidak juga melupakan syari'at...agar kita mendapatkan manfaat dan barokah.
wah bahasa yg di pakai tinggi ngt kang,,,
ReplyDeletesaya jd pusing,.,.,.
tp tetp keren.,.,.
:)
ReplyDeleteHehehehehe...alhamdulillaaahhh, terima kasih, mas Aziz...iya itu mereka ngomongnya begitu, saya juga ribet nih! Hehehe...terima kasih banyak ya...
Awesomme blog you have here
ReplyDeleteHi!
ReplyDelete