Majalah Alkisah No. 14 / 5 - 18 Juli 2004
Dunia Muhibin sepertinya penuh dengan perasaan cinta. Kecenderungan rindu kepada Rasulullah SAW mendorong orang memuliakan para Habib. Kota Solo ternyata bukan hanya pusat kebudayaan Jawa. Kota yang jugapunya nama lain Surakarta ini juga mampu menampilkan warna lain: wajah keislaman yang khas. Itulah yang terkesan ketika 9 Juni lalu berlangsung haul (peringatan ulang tahun wafat) untuk Habib Al-lmam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi, ulama besar yang juga dikenal sebagai penulis puisi puja-puji bagi Rasulullah SAW, berjudul Simtud Durar(Untaian Mutiara).
Puluhan ribu orang, dari berbagai penjuru tanah air, berdatangan sembari merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, sehari kemudian. Acara ini memang lain dari yang lain: ribuan habib - para ulama yang masih memiliki nasab (garis keturunan) sampai ke Rasulullah SAW berdatangan dari berbagai kota, bahkan dari luar negeri. Acara di Jalan Gurawan, Pasar kliwon, yang memang dikenal sebagai permukiman kaum muslimin keturunan Arab itu, rupanya tak terlepas dari peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW sebelumnya yang digelar di berbagai kota.
Bagi para habib, peringatan Maulid memang merupakan tradisi yang cukup istimewa. Jika kaum muslimin pada umumnya merayakan Maulid - baik dengan mendendangkan puisi Barzanji atau Diba'i maupun tidak - hanyalah peringatan biasa, bagi komunitas habaib (jamak habib) cara seperti itu merupakan sebuah ritus tersendiri. Puisi puja-puji bagi keteladanan akhlak Rasulullah SAW pun dibacakan, khususnya Simtud Durrar. Dalam kesempatan lain mereka juga membaca beberapa ratib (dari rathibul wirid), terutama Ratib Al-Haddad atau Ratib Alatas.
Dunia habaib mempunyai ciri dan warna yang sangat khas. Dalam keseharian, mereka rata-rata mengenakan jubah, sarung (atau celana panjang) dan sorban serba putih. Sebagian diantaranya memelihara cambang nan subur atau menenteng tasbih kecil untuk selalu berzikir. Aroma minyak wangi misyik tercium semerbak manakala mereka lewat, salam dan senyum selalu bertebaran, terasa sangat santun. Setiap kali bertemu dengan sesama habib atau ulama, mereka bersalaman disertai saling peluk, bahkan mencium kedua belah pipi. Tutur kata mereka pun lembut, tapi berisi. Satu lagi yang tak bakal ketinggalan: dalam sebuah acara rokhah - pengajian kitab klasik tentang salah satu ilmu agama – selalu terhidang nasi kebuli, kopi jahe, kadang-kadang juga "nasi minyak". Sebagian dari komunitas ini juga masih melanggengkan tradisi khas Arab - "makan berjemaah" : duduk mengelilingi nampan berisi nasi kebuli menggunakan tangan, bukan sendok, yang memang menggambarkan keakraban. Terutama, jika jumlah hadirin cukup banyak. Dan yang hampir selalu ada: aroma asap gaharu (dalam acara resmi) atau luban alias dupa (di rumah tangga) yang menyeruak di seantero ruangan.
Sehari sebelum acara resmi - pembacaan rawi Maulid (biografi Rasulullah SAW), diikuti tausiah (ceramah, nasihat) dan doa - mereka biasanya menggelar samar, yaitu acara santai: hadirin duduk beramah-tamah sembari mendengarkan musik berirama Timur Tengah, seperti qosidah atau gambus.Pada kesempatan itu biasanya ada beberapa anak muda (selalu lelaki!) yang menari tarian khas Yaman yang disebut zapin. Dan yang pasti, ada semacam rasa tanggung jawab di kalangan para habib sebagai cicit Rasulullah SAW untuk selalu meneladani keluhuran akhlak kakek moyang mereka yang sangat mulia: Rasulullah Muhammad SAW.
Bukan hanya itu, mereka juga merasa berkewajiban melanjutkan misi dakwah Rasulullah SAW ke segenap penjuru bumi. Bisa dimaklumi jika banyak diantara mereka yang kemudian termasyhur sebagai ulama, sufi, atau mubalig besar. Bahkan ada diantara mereka yang tampil sebagai pejuang kemerdekaan atau sultan di kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Secara harfiah, habib berarti "kekasih" - tiada lain lantaran mereka mempunyai nasab langsung kepada Rasulullah SAW. Dan memang, istilah habib atau habaib sering dimaksudkan sebagai cucu-cicit Rasulullah SAW.
"Tapi, sebetulnya istilah untuk keturunan Rasulullah SAW tidak hanya habib. Ada pula syarif bagi laki-laki dan syarifah bagi perempuan. Dan banyak lagi istilah lainnya. Yang jelas, para habib, meskipun memang keturunan Rasulullah SAW, sama saja dengan manusia yang lain, tidak eksklusif. Yang menandai ketidak-samaannya adalah keturunan RasulullahSAW saja.", kata Habib Abdurrahman Abdulkadir Basurrah, salah seorang pengurus Rabithah Alawiyah, himpunan para habib di Indonesia.
Di Indonesia, tidak sedikit habib yang dikenal sebagai sultan, pejuang atau intelektual yang cukup menonjol. Diantaranya Sultan Pontianak IX (Sultan Syarif Abubakar bin Machmud Alkadrie), Sultan Siak (Sultan Syarif Kasim II), Sultan Ternate (Sultan Mudzaffari Syah), Sultan Cirebon (Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung jati), atau Sultan Banten (Maulana Hasanuddin). Sementara Sayid Utsman dikenal sebagai ulama besar dan penulis kitab yang produktif, dan Raden Saleh Syarif Bustaman adalah pelukis kesohor, bahkan telah dinobatkan sebagai perintis seni rupa Indonesia.
Ulama besar, antara lain, Habib Ali Al-Habsyi (Kwitang,Jakarta) dan Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Solo), Habib Hasan Al-Haddad (Koja, Tanjung Priok), Habib Husein Abubakar Al-‘Aydrus (Luar batang, Pasar Ikan). Dua habib yang terakhir juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan. Sesudah generasi tersebut, belakangan lahirlah sejumlah ulama termasyhur, seperti Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Solo), Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf (Jakarta), Habib Abdurrahman bin AIi Al-Habsyi (Kwitang, Jakarta), dan Habib Luthfi bin Yahya (Pekalongan) - ketua Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah.
Sementara ada pula yang tampil sebagai politikus atau intelektual, seperti Hamid Al-Gadri, Ali Alatas, Alwi Syihab, dan Quraish Shihab. Para habib di Indonesia umumnya datang dari beberapa kota di Hadramaut - Yaman (kawasan barat daya Jazirah Arab), seperti Sewun, Huraidhah, 'Inat, Ghurfah, dan Syibam. Sementara yang berasal dari Tarim, puluhan kilometer di sebelah barat daya Hadramaut, ibu kota Yaman itu, tak terlalu banyak.
Mereka adalah keturunan Rasulullah SAW dari garis Ali bin Abi Thalib yang disebut ahlul bait. Dari sanalah mereka menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Nusantara. Umumnya mereka pedagang merangkap mubalig, tapi belakangan di tempat berdakwah tidak sedikit di antara mereka yang tampil sebagai penguasa, pejuang, juga intelektual.
"Sebagian besar waktu mereka untuk berdakwah. Hal itu sesuai dengan perintah Rasulullah SAW dan para leluhur kami, bahwa sebagian besar dari masa hidup kami dihabiskan untuk berdakwah demi syiar Islam", kataHabib Abdurrahman Abdulkadir Basurrah lagi.
Dengan kata lain, mereka berdakwah dan memberikan keteladanan berupa akhlak Rasulullah SAW sepanjang hayat. Tapi, mengapa mereka hijrah, menyebar ke seluruh dunia? Bermula dari Basrah, Irak, yang pada abad keempat Hijri kacau balau. Pemberontakan, krisis ekonomi, pertikaian antar penganut mazhab, bencana alam, datangsilih berganti. Pemerintahan Khalifah Abbasiyah yang sempat mencapai kejayaan di era Khalifah Harun Alrasyid, mengalami dekadensi dan berangsur-angsur lemah. Pada tahun 317 H, Khalifah Al-Muqtadir Billah dilengserkan, lalu digantikan oleh saudaranya, Muhammad bin Mu'tadhid.
Namun, pada tahun itu juga, Al-Muqtadir berhasil merebut kembali kekhalifahannya. Saat itulah Imam Ahmad bin Isa - tokoh terkemuka para ahlulbait - hijrah dari Basrah ke Medinah bersama sekitar 70 orang, terdiri dari anggota keluarga dan para sahabatnya. Mereka menghindar dari berbagai konflik, pertikaian, musibah dan fitnah, selain untuk menyelamatkan keluarga dan agama - sebagaimana kakek moyang mereka, Rasulullah SAW, yang berhijrah dari Mekah ke Medinah untuk menyelamatkan diri dan keluarga, sahabat dan pengikutnya, serta agama. la adalah keturunan langsung Rasulullah SAW dari garis Husein, cucu Nabi. Salah seorang kakeknya ialah ulama besar Imam Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah Az-Zahra binti Rasulillah SAW.
Bermukim selama setahun di Medinah, Imam Ahmad - yang oleh generasi sesudahnya digelari Al-Muhajir (Yang Hijrah Pertama Kali dari Basrah) melanjutkan perjalanan ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji pada 318 H. Dari Mekah ia meneruskan perjalanan ke Yaman menempuh perjalanan sekitar 1.000 kilometer dengan mengendarai kuda dan unta. Maka sampailah ia di Lembah Dau'an di Al-Jubail, lalu singgah beberapa saat. Tak lama kemudian ia membawa kafilahnya menuju Al-Hajrain, sebuah kota yang masyhur. Di sana ia membeli sebidang tanah; tapi tak lama kemudian pindah lagi ke kota bandar Al-Husaisah, antara Sewun dan Tarim.
Di Husaisah inilah Imam Ahmad wafat pada 345 H. Makamnya yang hingga kini diziarahi, terletak di puncak sebuah bukit kecil hingga terlihat dari semua arah. Mengapa ia memilih ke Yaman? Sebab, negeri ini telah lama ditunjuk oleh Rasulullah SAW sebagai tempat yang diberkati oleh Allah SWT, tempat berlindung bagi kaum muslimin yang dilanda fitnah.
"Warganya pengasih, tanahnya diberkati, ibadah di sana pahalanya besar.", sabda Rasulullah SAW.
Dari Tarim, Sewun dan Husaisah inilah keturunan Imam Ahmad menyebar ke segenap penjuru dunia. Salah seorang keturunannya ialah Imam Alawibin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa.
"Dari sinilah bermula munculnya nama Alawiyin.", tutur Habib Abdurrahman Abdulkadir Basurrah.
Khusus bagi kaum Alawiyin asal Hadramaut ini, mereka disebut juga Keluarga Besar Ba'Alawi. Sementara kaum Alawiyin di Syria belakangan menjadi Sekte Alawiyah. Presiden Republik Syria sekarang (tahun 2004), Hafidz Assad, adalah keturunan Alawiyin Syria. Dan yang sangat istimewa ialah, banyak diantara keturunan Imam Alawi bin Ubaidillah yang kemudian menjadi ulama besar yang berilmu tinggi. Mereka rata-rata bermazhab Syafi'i, tidak sedikit pula yang menjadi mubalig kesohor. Maka gerakan dakwah mereka pun menyebar sampai ke Afrika Timur dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara, keturunan mereka menguasai beberapa kawasan yang kemudian menjadi sangat penting, baik dari segi politik, ekonomi maupun budaya. Mereka tidak hanya menjadi penguasa atau sultan di beberapa daerah di Indonesia, tapi juga di Campa(Kampuchea atau Kamboja), Moro (Filipina Selatan), Brunei dan Malaysia. Hampir semua sultan di negara bagian Malaysia, misalnya, adalah kaum Alawiyin. Mereka keturunan langsung nasal (marga) Jamalulail, termasuk raja Malaysia sekarang (tahun 2004), Yang Dipertuan Agong As-Sayid Sirajuddin Jamalulail. Merekalah pula yang pertama kali berdakwah sampai ke Asia Tenggara.
Dalam bukunya Adat Istiadat Bangsa Moro dan Agamanya, Dr. Naggeb Syaliby menulis, para mubalig di Filipina adalah keturunan Alwi bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Alwy bin Abdillah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir. Sementara mubalig yang berdakwah sampai di Campa(Kampuchea), Semenanjung Malaya, Sumatra hingga Jawa, adalah Sunan Auliya atau Syarif Auliya, keturunan langsung Syekh Ahmad bin Abdullahbin Abdul Malik bin Alwi. Dalam pada itu, pada tahun 30 H / 651 M - selang 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW - Khalifah Utsman ibn Affan mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islamiyah yang belum lama berdiri.
Dalam perjalanan selama empat tahun, para utusan Khalifah sempat singgah di kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 674 M, Dinasti Umayah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatra. Pada saat itulah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam.
Mula-mula mubalig dari Hadramaut itu datang sebagai pedagang. Di belakang hari, mereka diikuti oleh beberapa kafilah, baik para pelaut maupun pedagang muslim. Mereka membeli hasil bumi dari negeri setempat sambil berdakwah. Dakwah mereka sangat persuasif, damai, sehingga terjadi akulturasi antara Islam dan budaya setempat. Lambat laun penduduk pribumi banyak yang memeluk Islam meski belum secara besar-besaran.
Dalam kitab Tarikh Hadhralmaut, migrasi kaum Alawiyin itu disebut sebagai yang terbesar di sepanjang sejarah Hadramaut. Dalam pada itu muncul beda pendapat di kalangan sejarawan, apakah Islam masuk ke Nusantara dari Hadramaut, Yaman, atau dari Gujarat, India. Melihat banyaknya jumlah migran dari Hadramaut, dan pola pikir kaum muslimin Nusantara serta mazhab yang mereka anut, yaitu mazhab Syafi'i, kiranya tak salah jika dakwah Islam yang pertama kali marak di Nusantara berasal dari Hadramaut.
Tapi, ada juga sejarawan yang berpendapat, mubalig yang berdakwah di Nusantara, khususnya Jawa, berasal dari Gujarat. Salah seorang di antara mereka ialah Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai salah seorang dari Wali Sanga alias Sembilan Wali. Menurut Sayid Ahmad Abdullah Assegaf dalam kitab Al-Hikmatul 'Asyirah, Maulana Malik Ibrahim bermarga Khan, karena ia berasal dari Gujarat. Sayid Ahmad juga menulis novel Fatat Garut (Solo, 1929) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Gadis Garut (Jakarta, 1997).
Bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Gujarat, sesungguhnya masuk akal juga. Sebab, begitu menurut versi sejarawan yang lain, sebelum sampai ke Nusantara, (sebagian) mubalig asal Hadramaut itu ada pula yang singgah dan berdakwah di India. Maka bisa dimaklumi jika banyak pula ulama India dan Pakistan yang mempunyai nasab sampai ke Rasulullah, seperti Sayid Muhammad Ali An-Nadwi (India) - yang bersama Mohamad Natsir (Indonesia) mendapat penghargaan sebagai ulama atau zuama dari (alm.) Raja Arab Saudi, Faishal bin Abdul Aziz (1978). Sementara di Pakistan kita mengenal ulama besar yang sangat terkenal di Indonesia, yaitu Sayid Abul A'la Al-Maududi, seorang ulama modernis.
Singkat kata, pada abad ke-14 dan 15 itulah fajar Islam mulai marak di Nusantara. Adalah Aceh, kawasan paling barat Nusantara, yang pertama kali menerima dakwah Islam. Bahkan di sana pula kerajaan Islam yang pertama di Indonesia berdiri, yakni Kerajaan Samudera Pasai, dengan penguasanya seorang muslim, Sultan Malikus Shalih. Menurut catatan Marcopolo, seorang pengelana yang masyhur dari Italia, ketika singgah di Pasai pada 1292 M / 692 H, ia menyaksikan sejumlah mubalig asal Hadramaut yang berdakwah di sana. Catatan Ibnu Batuthah, pengembara muslim dari Maghribi (Maroko), juga menyebutkan, ketika singgah di Aceh pada 1345 M / 746 H, ia menyaksikan kaum muslimin beribadah berdasarkan mazhab Imam Syafi'i.
Generasi ulama dan mubalig itu tentu saja juga meninggalkan jejak sejarah. Salah satunya, yang tertua, ditemukan di Gresik, Jawa Timur, pada abad ke-11. Peninggalan itu antara lain makam seorang muslimah bernama Fathimah binti Maimun yang pada nisannya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, sezaman dengan Kerajaan Hindu / Buddha Singasari. Diperkirakan, yang terkubur di sana bukanlah pribumi, melainkan pendatang dari Hadramaut.
Sampai tiga abad kemudian setelah Fathimah binti Maimun wafat, proses pengislaman penduduk pribumi Nusantara belum terjadi secara besar-besaran. Baru pada abad kesembilan H / 14 M, penduduk pribumi Nusantara memeluk Islam secara massal. Itu berarti, basis keislaman di Nusantara berhasil ditanamkan selama tiga-empat abad secara terus-menerus, Menurut para sejarawan, faktor keberhasilan pengislaman secara massal tersebut, antara lain, karena saat itu kaum muslimin memiliki kekuatan politik yang cukup berarti.
Ketika itu memang sudah berdiri beberapa kerajaan Islam seperti di Malaka, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Siak, Pontianak, Demak, Cirebon, dan Ternate. Para sultan yang berkuasa di kerajaan-kerajaan tersebut berdarah campuran, keturunan raja pribumi Pra-lslam dan para pendatang dari Hadramaut. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M itu, antara lain, juga lantaran semakin surutnya kekuatan dan pengaruh beberapa kerajaan Hindu / Buddha di Nusantara, seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Parahiyangan.
Mubalig besar yang pertama kali mensyiarkan Islam di tanah Jawa ialah Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, yang adalah salah seorang Wali Sanga - sebagaimana telah disebut. Salah seorang putra Syekh Maulana ialah Raden Rahmat alias Sunan Ampel di Surabaya. Raden Rahmat menurunkan Sunan Giri - yang di belakang hari juga terkenal sebagai "anggota" Wali Sanga, berkedudukan di Tuban. Dua lagi "anggota" Wali Sanga yang juga masih keturunan Rasulullah SAW ialah Sayid Ja'far Shadiq alias Sunan Kudus di Kudus; dan Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunungjati di Cirebon. Adapun Sunan Kalijaga, berdarah Jawa asli.
Dan yang sangat menarik ialah, ternyata Jaka Tingkir juga masih mempunyai nasab sampai ke Rasulullah SAW. Jaka Tingkir yang juga dikenal sebagai Pangeran Hadiwijaya adalah pendiri Kerajaan Pajang, beberapa saat setelah surutnya kerajaan Islam pertama di Jawa, Kesultanan Demak Bintara. Jaka Tingkir punya nama yang menyiratkan bahwa dia seorang habib: Sayid Abdurrahman Basyaiban. Tahun lalu wartawan Alkisah, Musthafa Helmy, yang berziarah ke makam Mbah Sambu di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, melihat prasasti marmer ukuran kecil dalam bahasa Arab yang menyebutkan bahwa nama Mbah Sambu yang sebenarnya ialah Sayid Abdurrahman bin Hasyim bin Sayid Abdurrahman
Basyaiban.
Menurut H.A. Hamid Wijaya, mantan khatib am Syuriah NahdlatuI Ulama dan anggota DPR-GR dari Partai NU tahun 1960-an, Sayid Abdurrahman Basyaiban adalah Jaka Tingkir. Hamid Wijaya sendiri mengaku sebagai keturunan Jaka Tingkir. Itu sebabnya ia menggunakan nama belakang Wijaya (dari Hadiwijaya). Setidaknya ada tiga orang keturunan Mbah Sambu yang menjadi orang besar: Kiai Mutamakkin (Pati), penulis kitab tasawuf dalam bahasa Jawa (Serat Cabolek), Kiai Saleh Darat (Semarang); dan K.H. Hasyim Asy'ari;(Jombang), pendiri Nahdlatul Ulama.
Begitulah, sepanjang lima abad - dan abad ke-14 / 15 sampai abad ke-20 Islam telah memperkaya khazanah budaya dan kerohanian bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Dan itu semua tiada lain berkat perjuangan dan dakwah yang gigih, tak kenal lelah, dari para ulama dan mubalig yang sungguh ikhlas, baik yang hijrah dari Hadramaut, Gujarat, maupun yang pribumi asli.
Semuanya itu mengikuti wasiat Rasulullah SAW, li i'la-i kalimatillah hiyal 'ulya (demi meninggikan kalimah Allah yang sungguh agung). Seorang diantaranya Habib Abubakar Alaydrus, yang dimakamkan di Luarbatang, Pasar Ikan, Jakarta Barat. Dia berdakwah pada abad ke-18, sekaligus memberdayakan kekuatan potitik kaum pribumi melawan kolonialis kafir Belanda.
Adapun dewasa ini, para ulama dan mubalig - terutama dari komunitas habaib - masih terus berdakwah, mengikuti jejak kakek moyang mereka. Diantara mereka, Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Gurawan, Pasar Kliwon, Solo) dan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf (Bukit Duri, Tebet, Jakarta Pusat). Habib Anis adalah ulama dan mubalig dengan banyak murid; sementara Habib Abdurrahman dikenal sebagai seorang intelektual dengan referensi ribuan kitab.
Keistimewaan pribadi Habib Anis ialah, ia mampu melestarikan dakwah yang pernah dirintis oleh ayahandanya secara konsisten, mengelola dengan baik semua kegiatan ibadah di Masjid Riyadh di Gurawan, kegiatan ilmiah dan sosial di Zawiyah yang terletak di samping masjid. Habib Anis dikenal sebagai ulama yang bersahaja dan tawaduk. Bisa dimaklumi jika ia dianggap sebagai salah seorang yang layak diteladani. Wajahnya yang teduh, tutur katanya yang lembut, senyumnya yang ramah, merupakan ciri khas pribadinya.
"Habib Anis selalu tampak gembira ketika bertemu dengan siapa pun. Tamu dan kenalannya dari berbagai kalangan, kelas atas maupun bawah. Meskipun sudah lelah, ia selalu menghormati tamu dengan perasaan gembira.", ujar Habib Husain Mulachela, salah seorang santrinya.
Sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW, menghormati dan memuliakan tamu - siapa pun dia - sangat dianjurkan, karena merupakan akhlak yang mulia.
"Kesederhanaan itu, misalnya, bisa kita lihat dari kamarnya. Bandingkan dengan kamar tamu yang sengaja ia buat di Masjid Ar-Riyadh yang tidak kalah dengan kamar hotel kelas berbintang. Itu baru salah satu contoh bagaimana Habib Anis meneladani perikehidupan Rasulullah SAW. Menurut Habib Anis, keturunan Rasulullah SAW harus meniru akhlak mulia Rasulullah SAW lebih dari orang lain.", kata Habib Husain Mulachela lagi.
Lain lagi dengan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, 96, dari Bukitduri, Tebet, Jakarta Selatan. Ulama yang satu ini sangat tekun dalam ilmu pengetahuan agama. Di lingkungan kaum muslimin, khususnya di Jakarta, Habib Abdurrahman menjadi rujukan dalam ilmu-ilmu keislaman. Hari-harinya pun tak pernah lepas dari kegiatan mengajarkan berbagai kitab. "Sejak muda Walid memang selalu tekun dan bersemangat dalam belajar" kata Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, putra kedua Habib Abdurrahman, yang selalu memanggil ayahandanya dengan sebutan walid (ayah). Semangat itu tampak memancar ketika acara pengajian tiba. Meski usianya sudah lanjut, ia akan tampak bugar untuk datang dalam setiap pengajian.
Di rumahnya, setiap hari ia mengajarkan ilmu agama dari segudang "kitab kuning". Disebut "kitab kuning" karena memang kertasnya berwarna agak kekuning-kuningan. Kitab jenis itu memuat ilmu-ilmu agama, dan lazim disebut kitab klasik. Muridnya ribuan, datang dari berbagai penjuru Jakarta.
Siapakah ulama dan intelektual yang sudah sangat langka ini? la lahir di Bogor dari pasangan Habib Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Utsman dan Syarifah Fatimah. Di masa mudanya ia mencicipi ilmu agama dari sejumlah ulama kesohor, seperti Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, salah seorang mufti Johor (Malaysia), Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Al-Haddad, Habib Ali bin Husein Alatas (Bungur), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi dan Habib Abdullah bin Muhsin Alatas - yang juga dikenal sebagai Habib Empang, Bogor.
Di masa mudanya, salah satu kelebihan Habib Abdurrahman Assegaf ialah kemampuannya yang luar biasa dalam memahami nahwu sharaf alias paramasastra atau tata bahasa Arab, ketika mendalami sejumlah kitab kuning. Sebab, memang hanya dengan cara itulah seorang sastri akan mampu memahami bahasa klasik kitab kuning. Sekitar tahun 1960-an Habib Abdurrahman menderita buta selama lima tahun. Namun, kendala seperti itu ternyata tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap menegakkan syiar Islam. Pada masa-masa itulah ia menyusun serangkaian puisi indah berupa puja-puji terhadap keagungan Allah SWT dalam rangka bertawasul. Belakangan, doa tawasul itu diberinya judul Tawasul Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf
Itulah sekelumit rangkaian berkah dan rahmat yang tak tepermanai indahnya dari abad ke abad, sebuah anugerah Allah SWT bagi bumi Nusantara, melalui amal ibadah para utama dan mubalig yang tak kunjung kenal lelah menunaikan dakwah Islamiah. Semoga segala amal ibadah mereka mendapat rida dan magfirah dari Allah SWT. Amin.
Dan yang sangat menarik ialah, ternyata Jaka Tingkir juga masih mempunyai nasab sampai ke Rasulullah SAW. Jaka Tingkir yang juga dikenal sebagai Pangeran Hadiwijaya adalah pendiri Kerajaan Pajang, beberapa saat setelah surutnya kerajaan Islam pertama di Jawa, Kesultanan Demak Bintara. Jaka Tingkir punya nama yang menyiratkan bahwa dia seorang habib: Sayid Abdurrahman Basyaiban. Tahun lalu wartawan Alkisah, Musthafa Helmy, yang berziarah ke makam Mbah Sambu di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, melihat prasasti marmer ukuran kecil dalam bahasa Arab yang menyebutkan bahwa nama Mbah Sambu yang sebenarnya ialah Sayid Abdurrahman bin Hasyim bin Sayid Abdurrahman
ReplyDeleteBasyaiban.
Menurut H.A. Hamid Wijaya, mantan khatib am Syuriah NahdlatuI Ulama dan anggota DPR-GR dari Partai NU tahun 1960-an, Sayid Abdurrahman Basyaiban adalah Jaka Tingkir. Hamid Wijaya sendiri mengaku sebagai keturunan Jaka Tingkir. Itu sebabnya ia menggunakan nama belakang Wijaya (dari Hadiwijaya). Setidaknya ada tiga orang keturunan Mbah Sambu yang menjadi orang besar: Kiai Mutamakkin (Pati), penulis kitab tasawuf dalam bahasa Jawa (Serat Cabolek), Kiai Saleh Darat (Semarang); dan K.H. Hasyim Asy'ari;(Jombang), pendiri Nahdlatul Ulama.
tulisan ini tidak berdasar sama sekali, dari sudut ilmu nasab banyak tertolak dan tidak bisa dipublikasikan. Saya adalah salah satu keturunan dari Qobilah Basyaiban. Saya tidak bicara berdasar kesukuan saya, tapi ditilik dari berbagai macam referensi dan catatan keluarga Basyaiban sendiri yang telah diteliti dan disahkan oleh lembaga yang mengurus nasab Rosul. Jadi walhasil, tulisan tersebut diatas tidak dapat diterima kebenarannya.