Friday, December 12, 2008

Dari "Atap Tinggi" Sampai "Pandai Besi"

Oleh : Majalah Alkisah No, 14 / 5 - 18 Juli 2004

Hadramaut, akhir abad keenam Hijri. Seorang ulama besar, Habib Abdul Malik bin AIwi bin Muhammad Shahib Mirbat, berangkat ke India untuk berdakwah sembari berdagang. la mendapat julukan Shahib Mirbat karena wafat di Mirbat, Oman. Dia keturunan Imam Ahmad bin Isa yang bergelar AI-Muhajir, mubalig yang pertama kali hijrah dari Basrah ke Medinah pada abad keempat Hijri. Sampai di India, ia berdagang dan berdakwah sembari bergaul bahkan berbaur dengan Penduduk pribumi India, bahkan belakangan ia pun menikah de­ngan seorang wanita bangsawan dari se­buah kerajaan di India saat itu, sehingga mendapat posisi politik yang strategis.

De­ngan posisi itulah ia menyebarkan Islam hampir ke seluruh India. Salah seorang keturunannya ialah Habib Abdullah Khan, yang belakangan menurunkan sejumlah ulama dan mubalig yang berdakwah ke negeri-negeri di sekitar India, sampai ke Nusantara.

"Termasuk sembilan wali yang menyebarkan Islam di tanah Jawa, yang terkenal seba­gai Wali Sanga, adalah keturunan Habib Abdullah Khan itu,” kata Habib Abdurrahman Basurrah, salah seorang pengurus Rabithah Alawiyin Indonesia. Adapun Mubalig yang pertama kali masuk ke Nusantara abad ke-13 dan 14 ialah Habib Jamaiuddin Husein bin Habib Ahmad Syah, cucu Habib Abdullah Khan. Salah seorang anaknya bernama Maulana Malik Ibrahim, yang belakangan terkenal sebagai Syekh Maulana Malik Ibrahim.

Dia inilah yang kemudian lebih kesohor sebagai Sunan Gresik (yang tiada lain seorang diantara sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa, yang terkenal sebagai Wali Sanga. Anak kedua dan ketiga masing Habib Ali, yang berdakwah di Campa alias Siam (kini Kampuchea atau Kamboja), dan Habib Barakah, yang juga berdakwah di tanah Jawa.

Dari Sunan Gresik inilah kemudian lahir para ulama dan mubalig yang menyebarkan Islam di tanah Jawa dan Nusantara.

Itu adalah sebuah gambaran, betapa penyebaran Islam di segenap penjuru bumi dilakukan secara damai, persuasif - yang di antaranya dilakukan oleh para ulama dan mubalig yang masih memiliki nasab (garis keturunan) sampai ke Rasulullah SAW. Berpuluh-puluh tahun kemu­dian, selain keturunan Habib Abdul Malik bin AIwi - salah seorang keturunan Al-Muhajir yang dimakamkan di Mirbat sebagaimana telah disebut - juga banyak ulama dan mubalig lain yang hijrah dari Hadramaut untuk berdakwah ke negeri-negeri lain, termasuk Indonesia.

Mereka itu terdiri dari sejumlah nasal atau marga. Beberapa diantara mereka, misalnya, nasal Assegaf, Al-Habsyi, Al-‘Atthas, Al-Jufri, Al-Gadri, Al-Haddad, Asy-Syatiri, Baseban, Musawa, dan Mulachela - yang tak asing lagi bagi telinga orang Indonesia. Salah seorang dari beberapa keturunan Al-Muhajir yang lain, ialah Habib Alwi bin Ubaidillah. Nah, dari Habib Alwi yang inilah kemudian terbentuk nasal besar Bani Alawiyin - yang kebanyakan berdakwah di Nusantara.

Di seluruh dunia, jumlah nasal yang mempunyai nasab langsung ke Rasulullah SAW itu lebih dari 200, dengan asal-usul masing-masing. Dan masing-masing nasal tentu punya sejarahnya sendiri. Di belakang hari, anak cucu dan cicit pun menggunakan nama leluhur mereka. Yang bermukim di Indonesia saat ini, menurut Habib Abdurrahman Basurrah, diperkirakan lebih dari dua juta orang.

Lahirnya marga-marga tersebut, masih menurut Habib Basurrah, terutama berkat termasyhurnya salah seorang moyang mereka sebagai ulama atau mubalig besar. Misalnya nasal Assegaf ("atap"), yang bermula dari Habib Abdurahman bin Muhammad Mawla Addawilah - seorang ulama yang menguasai ilmu agama cukup tinggi dan mampu mengayomi umat, hingga dianggap sebagai "atap yang tinggi". Belakangan Habib Abdurahman bin Muhammad Mawla Addawilah dijuluki Assegaf (as-saqaf) - dan kemudian anak keturunannya memakai nama Assegaf pula.

Sedangkan marga Al-Haddad bermula dari Habib Ahmad, yang mendapat julukan Al-Haddad ("pandai besi"). Disebut sebagai "pandai besi" karena ia "mam­pu melunakkan hati yang keras seperti besi" (hadatul qulub), berkat ketinggian ilmu dan kebijaksanaannya yang luar biasa.

Adapun marga Alatas atau Al-‘Atthas ("bersin"), menurut Habib Abdullah ibn Umar Ba'bab dalam kitab Hilyatul Anfas, julukan Alatas itu gara-gara bayi yang masih ada dalam kandungan ibundanya bersin. Bayi itu tak lain Habib Aqil bin Salim. Hanya bayi yang masih ada dalam kandung­an yang mendapat ridho Allah SWT yang mampu bersin! Maka belakangan nama Ala­tas pun digunakan oleh anak-cucunya. Salah seorang keturunan habib "bersin" yang sangat termasyhur ialah Habib Umar bin Ab­durrahman Alatas, penyusun Ratib Alatas, yang sangat terkenal di seluruh dunia hingga kini. la lahir di kota Lask, Hadramaut, tahun 992 H; dan wafat pada butan Rabiuts Tsani tahun 1072 H. Meski sejak kecil buta, ia sangat tekun dan cerdas dalam menuntut ilmu.

Lain lagi dengan Al-Habsyi, yang asal katanya dari Habasyah (kini Ethiopia). Nama Al-Habsyi dinisbahkan kepada Habib Abu Bakar bin Ali yang suatu kali sempat berhijrah untuk berdakwah ke Habasyah, sehingga ketika pulang kembali ke Hadramaut ia dikenal dengan nama julukan Al-Habsyi.

Sementara Habib Alwi bin Ali mendapat julukan Asy-Syathiri karena ia sangat pandai.

Salah seorang habib "pandai besi" yang juga berdakwah di Indonesia, antara lain Habib Abdullah Al-Haddad, yang sangat terkenal sebagai penyusun Ratib Hadad yang juga terkenal di seluruh dunia. Baik Ratib Alatas maupun Ratib Al-Haddad, dua-duanya menjadi bacaan wirid kaum muslimin, terutama di pesantren-pesantren.

Dalam kitab Sullam al-Thalib lil al-Maratib, yang juga dikenal sebagai Syarh al-Ratib, karya Sayid Ali bin Abdullah Al-Haddad, disebutkan, Ratib Al-Haddad ditulis pada bulan Ramadhan tahun 1071 H. Ratib tersebut kemudian menjadi pendamping wirid-wirid terkenal lainnya, seperti Hizb al-Nashr karya Imam Abu Hasan As-Sadzili (wafat 656 H / 1258 M), dan Hizb al-Nawawi karya Imam Syarafuddin An-Nawawi (wafat 676 H / 1277 M).

Ulama masyhur lainnya ialah Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi, penyusun qasidah yang terkenal, Simtud Durar (Untaian Mutiara). Qasidah ini disusun sebagai puisi panjang dengan bahasa yang indah. Setiap kali para ha­bib menyelenggarakan peringatan Maulid, mereka lazim membaca qasidah ini. Bahkan tak sedikit yang hafal.

Itulah dunia para habib, anak cucu keturunan Rasulullah SAW yang pada umumnya gigih berdakwah, alim dalam beribadah, berilmu tinggi, dan santun dalam pergaulan. Rasulullah SAW memang menyatakan, orang Arab, juga keturunan beliau, tak ada bedanya dengan orang ajam alias non-Arab. Namun, para habib yang adalah keturunan Rasulullah SAW - berusaha meneladani akhlakul karimah (budi pekerti luhur) Rasulullah SAW.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13, Inna akramakum 'indallahi atqakum (Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa). Apalagi, Rasulullah SAW juga menyatakan, Bu'itstu li utammima makarimal akhlaq (Aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).

Maksudnya, siapa pun mereka, keturunan siapa pun juga, yang terpenting ialah mutu ketakwaan kepada Allah SAW dan kualitas pribadi seseorang dalam meneladani keluhuran budi Rasulullah SAW.

Maka, seperti kata Habib Husein Mulachela, salah seorang santri Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi, "Memang, anak cucu Rasulullah SAW itu harus lebih berkualitas dalam meneladani akhlak Rasululah SAW."

No comments:

Post a Comment

Silahkan sampaikan tanggapan Anda atas tulisan di atas.