Wednesday, September 17, 2008

Nasab atau Nisbah

Oleh : Ustadz Jindan bin Naufal Bin Jindan

Nasab atau nisbah, artinya adalah hubungan. Setiap orang tidak akan selamat di akhirat melainkan apabila mempunyai nisbah kepada Rasulullah. Selama ia tidak mempunyai nisbah kepada Rasul, maka orang tersebut celaka, celaka, celaka!

Jangan salah paham dulu!

Nisbah itu ada dua macam:

1. Nisbah thiniyyah.
Nisbah thiniyyah artinya hubungan darah dengan Rasulullah shallallahualaihi wasallam, yang kita kenal mereka merupakan para sayyid atau syarif.

2. Nisbah diniyyah.
Nisbah diniyyah adalah hubungan agama dengan Rasulullah, dan itu adalah hubungan umumnya muslimin.

Nisbah thiniyyah tidak akan membawa manfaat apa-apa tanpa diiringi nisbah diniyyah, sebagaimana kita ketahui dari Allah dalam Al-Qur'an tentang anak Nabi Nuh. Dan manakala seseorang mempunyai kedua nisbah ini, maka sudah jelas dia lebih mulia daripada yang hanya mempunyai satu nisbah, sebab ini merupakan kemuliaan dari Allah Ta'ala yang telah menjadikan rumah tangga mereka sebagai rumah tangga ilmu dan kenabian, rumah tangga akhlak, serta syama'il dan kewalian.

Manakala seorang sayyid telah memutus dirinya dari rumah tangga tersebut, maka ia akan hancur berkeping-keping dan menjadi hina, serta binasa.

Berkata seorang muhibbin kepada Habib Abdullah bin Husin bin Tohir,
"Ya Habib Abdullah, saya tidak bersedih kalau saya ini bukan seorang sayyid, sebab sayyid itu kedudukannya tinggi sejak ia dilahirkan. Apabila sayyid tersebut menyimpang berarti telah menjatuhkan dirinya dari tempat yang tinggi, seperti orang yang jatuh dari gunung pasti hancur berkeping-keping. Adapun saya kalau menyimpang, maka hanya seperti jatuh dari meja dan tidak terlalu parah.

Berkata Habib Abdullah,
"Perkataan orang inilah yang telah mendorongku untuk tetap menjunjung tinggi nasabku dengan mengikuti jejak datuk-datukku."

Kita melihat banyak sayyid sekarang yang hanya membanggakan nasab dan leluhurnya, akan tetapi menyimpang jauh dari jalan leluhurnya. Sayyid, tapi tidak sholat. Sayyid, tetapi tidak puasa. Sayyid, tapi tidak tahu syurutil wudhu. Bahkan tidak mengetahui sejarah Rasulullah, siapa anak-anak dan istri-istri beliau.

Jadi kalau ada yang bilang, "Sayyid tidak tahu kalau dirinya sayyid," maka inilah orangnya.

Habib Abdullah Alhaddad berkata,

ثم لا تغتر بالنسب لا ولا تقنع بكان ابي

Kemudian jangan tertipu dengan nasabmu, jangan! Dan jangan merasa puas dengan perkataan "Dahulu ayahku begini atau begitu".

Dalam qasidah yang lain, beliau berkata,

لقد تأخر أقوام وما قصدوا نيل المكارم واستغنوا بكان ابي

Sesungguhnya telah ketinggalan suatu kaum, yang mana mereka tidak berusaha mencapai kemuliaan dan kehormatan, dan merasa cukup dengan ucapan-ucapan "Dahulu ayahku orang besar, atau ini dan itu".

Dikatakan oleh Habib Umar bin Hafidz,
"Membanggakan mereka sebagai leluhur bagi orang yang berjalan mengikuti jejak mereka merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan. Adapun bagi orang yang menyimpang dari jalan mereka, merupakan ghurur / tertipu (memalukan)."

Paling tidak, kalau kita tidak bisa menjadi seperti mereka, maka tirulah sedikit demi sedikit dari amalan mereka.

(http://bisyarah.wordpress.com/2008/08/10/nisbah/)

No comments:

Post a Comment

Silahkan sampaikan tanggapan Anda atas tulisan di atas.