Oleh : Pak Ngestoe Rahardjo
Ketika Tong Tua itu terbuka...seorang pengemis sudah duduk mengemis di pinggir jalan itu selama lebih dari 30 tahun. Suatu hari, ada orang-asing lewat di depannya.
"Bagikanlah recehannya Tuan ...", rengek si pengemis, otomatis menengadahkan kopiah lusuhnya.
"Aku tak punya apa-apa untuk aku berikan.", kata si orang-asing. Menyaksikan si pengemis menduduki sesuatu, ia pun bertanya, "Apa yang kamu duduki itu?"
"Ini?", tanyanya sambil menyentuh tong yang di dudukinya itu. "Oh ... ini hanya sebuah tong tua. Saya sudah mendudukinya sejak lama Tuan...seingat saya jadi pengemis, saya sudah menjadikannya tempat duduk Tuan."
"Pernahkah kamu melihat di dalamnya?", tanya si orang-asing.
"Tidak Tuan!" sahut pengemis.
"Tapi untuk apa? Di dalamnya tak berisi apa-apa kok!"
"Cobalah melihatnya!", desak si orang-asing.
Dengan harapan kalau ia mematuhi si Tuan ini ia akan diberi recehan, ia pun dengan setengah hati membongkar tong tuanya guna melihat isinya.
"Ah ...", ia tercengang, matanya terbelalak dan sesekali mengucek matanya, ia tak percaya akan apa yang dilihatnya. Tong tua yang dijadikannya tempat duduk selama ini itu ternyata penuh berisi emas lantakan.
Dalam parabel ini, si pengemis adalah seorang pencari spiritual, si orang asing adalah seorang Guru, kopiah lusuhnya itu adalah inteleknya, dan tong tua yang malah dijadikannya tempat duduk itu adalah batin murninya atau hati nuraninya sendiri.
Seorang Guru sesungguhnya tak bisa memberi kita apapun, yang bukan sejak awal memang milik kita, kendati beliau sangat murah hati, sabar dan penuh kelimpahan. Beliau sekedar menyadarkan dan mendorong siswanya untuk "melihat ke dalam", melihat dan menemukan kembali harta karun yang tersimpan rapi sekian lama dan terabaikan — Diri Jati.
No comments:
Post a Comment
Silahkan sampaikan tanggapan Anda atas tulisan di atas.