Friday, October 31, 2008
Nikmat di Dunia dan Akhirat
Masih dua hari yang lalu, saya diam mendengarkan nasehat yang disampaikan pada saya :
"Ati iro gambarane tingkah laku iro. Ati-ati! Aji panglipur loro iro reksanen kanthi temenan. Surgo ndunyo pawujude surgo akherat."
Adapun terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia adalah sbb:
"Keadaan hatimu adalah cerminan dari tingkah lakumu. Berhati-hatilah! Ingatlah baik-baik bagaimana caramu menghibur kesedihanmu! Surga di dunia adalah perwujudan surga di akhirat."
Ibarat teko isi kopi, jika dituangkan tentu kopi yang keluar. Begitu juga dengan hati, apapun isi hati kita atau bagaimanapun keadaan hati kita akan terwujud lewat tingkah laku dhohir kita.
Dikala kita melakukan keburukan maka hati kita akan buruk pula keadaannya. Begitu juga sebaliknya, jika hati kita menolak atau senantiasa menunda-nunda untuk melakukan kebaikkan, maka kita pun belum akan melakukan kebaikkan.
Jika hati kita senantiasa berburuk sangka pada Allah Swt atau pada makhluq-Nya, atau kita merasa iri dengki melihat keberhasilan orang lain sehingga meng-halal-kan segala cara untuk melebihi mereka, atau merasa diri kita paling benar, sombong, berbohong, malas, terlalu panjang angan-angan dan tidak peduli pada perintah, imbahuan atau larangan-Nya, maka tingkah laku perbuatan kita juga akan melakukan hal-hal yang buruk. Segala yang kita lakukan jauh dari kebaikkan yang membawa manfaat untuk diri kita dan orang lain. Kita akan menolak untuk berbuat baik jika hati kita tidak tertarik pada kebaikkan. Tapi jika hati sudah tertarik pada kebaikkan maka kita menerima kebaikkan.
Dari tingkah laku kita bisa terlihat bagaimana keadaan hati kita, dan dari hati kita bisa kita lihat bagaimana tingkah laku kita. Jadi berhati-hatilah,jagalah hati dan tingkah laku kita!
Memperbaiki keadaan hati agar mau menerima kebaikkan bisa menjadikan kita tergerak untuk melakukan kebaikkan lewat berbagai amal ibadah dhohir. Sebaliknya, memperbaiki perbuatan dhohir kita dengan mengerjakan berbagai amal ibadah bisa menjadikan keadaan hati kita lebih baik, lebih lembut.
Terkadang memang kita harus memaksa diri kita dengan mengerjakan yang kita mampu dulu. Biar sedikit asal rutin dan terus menerus insya Allah lebih baik daripada banyak tapi sebentar.
Memperbaiki keadaan hati dan dhohir kita bisa menghibur kesedihan kita. Jika kita senantiasa bergembira maka semuanya akan lebih menyenangkan dan kita akan lebih mudah mengerjakan kebaikkan. Disaat kita mudah melakukan kebaikkan maka ini nikmat dari Allah Swt yang dikaruniakan pada kita didunia.
Nikmat di dunia insya Allah menjadikan kita dikaruniakan nikmat di akhirat. Amin.
Setidaknya ini yang saya pahami dari penjelasan beliau.
Thursday, October 30, 2008
Penghibur Kesedihan Hati
"Jagad iro reksanen! Kamanungsan iro wujud palinglipure ati iro. Ojo susah, ojo bungah amargo kahanan!"
Kemarin sore lepas Ashar saya kedatangan banyak tamu. Setelah basa-basi sebentar, salah seorang diantara mereka menyampaikan nasehat dalam bahasa Jawa seperti di atas kepada saya. Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia adalah sbb:
"Jagalah benar-benar keadaanmu! Apapun yang ada pada dirimu dan apapun yang kau miliki merupakan penghibur kesedihan-kesedihan hatimu. Jangan terlalu larut dalam kesedihan atau pun kegembiraan terhadap apapun yang kau alami!"
Tatkala kita mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari orang lain atau bahkan dari teman kita sendiri, hati kita tentu akan sedih karena merasa diabaikan dan kehadiran kita tidak dianggap.
Sedih itu wajar tapi sedih bukanlah tujuan kita tapi bahagialah tujuan kita, harapan kita dan yang kita dambakan. Kalau benar kebahagiaan adalah impian kita maka segala hal disekitar kita dan segala yang kita lakukan harus bisa kita jadikan penyebab untuk menggembirakan hati kita.
Semua disekitar kita bisa menggembirakan hati kita asalkan kita mau membiarkan hati kita terbuka untuk menerima apapun yang kita alami. Kalau tujuan kita adalah kebahagiaan maka kehilangan satu hal tidak akan membuat kita sedih sebab kita masih bisa berbagi kebahagiaan dengan hal yang lain disaat yang sama.
Kita tidak diundang untuk menghadiri acara teman kita atau kita diabaikan oleh teman kita tidak akan membuat kita sedih dan tidak akan menghentikan kita untuk bisa berbagi kebahagiaan dan kegembiraan dengan orang lain di sekitar kita. Kalau orang-tua kita yang ada di dekat kita maka bahagiakan mereka, senangkan hati mereka, bantulah mereka, luangkan waktu lebih banyak bersama mereka dengan memanfaatkan apapapun yang kita punya. Siapa pun yang di dekat kita, bahagiakan mereka.
Kegembiraan tidak dibatasi jarak dan tidak dipengaruhi jarak. Selama hati kita gembira maka mereka akan merasakan kegembiraan seperti yang kita rasakan meski mereka jauh dengan kita. Apa yang datang dari hati akan sampai ke hati pula.
Tapi ingatlah bahwa jangan terlalu bersedih dan bergembira sebab terkadang hawa nafsu kita membuat kita larut dalam kesedihan kita dan terkadang membuat kita larut dalam kegembiraan kita sehingga membuat kita lupa pada Allah Swt dengan merasa diri kita lebih baik daripada orang lain. Sedih boleh asal jangan berlarut-larut, dan gembira lebih baik daripada sedih asal jangan berlebihan.
Wednesday, October 29, 2008
Thoriqoh "User-Friendly"
Great discussion guys,
Hanya menambahkan sedikit apa yang ditulis saudara Hani Ba'agil (di bawah). Konsep tariqah Muqarrabun & Tariqah Ashabul Yamin bukan konsep yang diperkenalkan oleh Habib Abubakar Adni al-Mashhur tetapi adalah konsep yang digunakan oleh Imam al-Haddad pada saat beliau memformulasikan bentuk baru untuk tariqa 'alawiyya yang lebih umum dan 'user friendly'. Jelas, bahwa di zaman al-Haddad, sudah terjadi banyak perubakan struktural pada masyarakat Hadramaut, khususnya menyusul perebutan kekuasaan oleh bangsa Yafi'i.
Kondisi politik yang tidak menentu, pergulatan kekuasaan antara qabilah-qabilah Hadramaut dan Yafi'i menyebabkan institusi lama yang sebelumnya efektif dalam mempertahankan perdamaiaan dan stabilitas tidak lagi berjalan. Institusi Mansobah misalnya, yang sebelumnya cukup efektif dalam penyebaran agama dikalangan para qabail dan menjaga perdamaiaan antar mereka tidak lagi efektif seperti sebelumnya. Hal ini dikarenakan Qabilah-qabilah Yafi'i tidak mengakui otoritas spiritual para munsib selain al-Syaikh Abubakr (karena Habib Husein b. Syaikh Abubakr-lah yang pertama membawa kaum Yafi'i untuk memperkuat kesultanan Kathiri I dimasa Sultan Badr Bu Tuwayriq).
Interpretasi ana dalam membaca beberapa karya al-Haddad khususnya Tasbit al-Fu'ad, dimana beliau banyak melancarkan kritik sosial dan politik terhadap masyarakat Hadramaut dizamannya (dan juga di koleksi inilah beliau memperkenalkan Tariqa Ashabul Yamin as oppose to Tariqa Muqarrabun), adalah bahwa ada semacam ketidak-puasan dalam benak al-Haddad akan tasawwuf elitis yang selama ini diajarkan dalam di Hadramaut dimana hanya golongan Ba'alawi dan sebagian dari Masyaikh yang memperoleh banyak manfaat. Bagaimana dengan golongan Qabail, Fallah, Masakin yang sebetulnya merupakan letak dari problematika sosial di Hadramaut kala itu? Ungkapan-ungkapan al-Haddad di Tasbitul Fuad terkesan sangat elegiac dan kelam hingga beliau sempat terpikir untuk berhijrah dari Hadramaut ke Mirbath tetapi karena beban keluarga, wanita dan anak-anak, beliau mengurungkan niatnya ('Wa lanā mawḍi’ hijra illa mirbat, lakin ma yumkinuna dhalik li ajl al-makalif wa al-sighar wa nahwihim,’ Tathbit al-Fuad, vol. I, p. 72). Mungkin analogi yang bagus adalah membandingkan ketidak-puasan al-Haddad di beberapa bagian Tasbit al-Fuad dan kemurungan Ghazali di bagian awal al-Munqidz min al-Dzalal.
Al-Haddad yang murung kemudian mulai memformulasi pemikirannya guna membawa perubahan yang lebih baik di Hadramaut. Beliau melihat dua level yang harus secara bersamaan di benahi karena kedua tigkat ini sangat komplementer. Ana pernah menulis tentang hal ini untuk sebuah artikel, dan dibawah ini ada paste-kan beberapa bagian dari paper tersebut mengenai dua solusi yang diberikan al-Haddad:
1. On the individual level, al-Ḥaddad asserted the importance of the Ṭariqa for people. He noted the elitist nature of the Ṭariqa ‘Alawiyya, in that directional practices were only given to the elites, leaving the cult of saints for the masses. For al-Ḥaddad, character and moral developments for every members of the society are what were needed in Hadramaut. In order to do this, al-Ḥaddad reconstructed the method (manḥaj) of Ṭariqa ‘Alawiyya from its elitist form to become a more popular and achievable spiritual path. The idea was to generate participation from broader public to practice the Ṭariqa. The new form of Ṭarīqa ‘Alawiyya was what al-Haddad termed as Tariqa Ashab al-Yamin (the way of the people of the right hand) as oppose to the old Tariqa al-Muqarrabin (the way of the drawn near). According to al-Haddad, the practices of the past had become unbearable for his generation. The past generation had stronger certainty (yaqin), they had more of what is lawful and were closer to the time of the Prophet. For al-Haddad, people of his generation should not look at the devotions of great sufi masters such as Bishr or al-Fud ayl as even the companions of the Prophet did not do as much as they. For al-Haddad, hard devotional efforts (riyad a) and retreat (‘uzla):
"are inappropriate in this age that lacks their specific conditions, such as lawful (h alāl) provision and other things. Those who base their affair on maintaining their obligatory acts of worship, avoiding prohibited things, performing what supererogatory acts (nawafil) they can, enjoining good and forbidding evil, assisting the weak, helping the needy or taking charge of his expenses, and other similar things, and firmly keep to this, may yet obtain that which [earlier people] had obtained through their devotional efforts and retreats."
See: ‘Abd Allah b. ‘Alawi al-Haddad, Tathbit al-Fuad, vol. I, pp. 30-33. The direct quotation is from p. 33.
2. In regards to the society, al-Haddad championed the establishment of a strong state (dawla), ensuring a functioning society based on the sacred law (shari’a). In 1702, he composed a book entitled al-Da’wa al-Tamma wa al-Tadhkira al-‘Amma [The Complete Calling and the General Reminder] consisting of critiques of the society. He classified society into eight categories: scholars, sufis, kings and rulers, merchants and craftsmen, the poor and the weak, dependents such as women, children and servants, common people and non-Muslims. Al-Haddad explains the responsibilities and duties of each classes within shar’i framework. This book can be seen as a blueprint for a utopia based on shar’i rules. Al-Haddad therefore offered an alternative way for the ordering of society, which reflects his background as a sedentary, land owning and learned gentleman.
Pemikiran yang disodorkan oleh al-Haddad ini merupakan sebuah perubahan paradigma, dan disinilah letak dasar dari pemikiran-pemikiran Ba'alawi pada masa selanjutnya. Legacy al-Haddad terus hidup dalam pemikiran sesudahnya yang tetap melihat al-Haddad sebagai reformer par excellence. Konsep masyarakat yang ditulisa dalam Da'wa al-Tamma misalnya, diusung kembali dengan sophistikasi yang lebih dalam oleh H. Ahmad b. 'Umar bin Sumayt. Bukan hanya dalam bentuk teori, Ibn Sumayt juga turut mencoba mempraktekan sistem masyarakat baru di Shibam pada zamannya. Banyak kemiripan antara al-Haddad dan Ghazali, tentu ini merupakan subjek yang sangat menarik untuk mutalaah dan research lebih lanjut serta pembacaan-pembacaan ulang terhadap karya-karya beliau.
Mungkin itu saja, sebagai apresiasi terhadap diskusi yang sangat menarik!
Ismail F. Alatas
Doctoral Program in Anthropology and History
University of Michigan
1029 Tisch Hall
435 South State St.
Ann Arbor (MI), 48109-1003
Email: ifalatas@umich.edu
How To Be...
Rumusan istighfar - salawat - tahlil juga bisa ditemukan di Tarbiyah Ruhiyah, Sa'id Hawwa. Ia mengatakan bahwa bagi pemula hendaknya membaca masing-masing tadi 70.000 kali. Beberapa kawan pernah mempraktekkan hal ini dan hasilnya menakjubkan.
Imam Haddad dalam Adab Sulukil Murid mengatakan bahwa bagi pemula, yang terbaik adalah meperbanyak kalimat tahlil Laa ilaaha illallah. Lalu dalam kitabnya yang lain (kalau tidak salah di Risalah Mu'awanah) Imam Haddad menambahkan istighfar dan shalawat. Dan ahli nihayah akan kembali ke zikir Laailaaha illallah.
Berkenaan dengan "Tasawuf yang disederhanakan", al Habib Ali al Jufri pernah berbicara sesuatu yang mungkin mirip: Tasawuf Umum dan Tasawuf Khusus. Dalam dakwah untuk masyarakat umum, yang dibawakan adalah tasawuf umum.
Mungkin saja yang tersebar pada masa generasi salahuddin dan sebelumnya diantara masyarakat awam adalah tasawuf umum ini.
Kalau saya denger dari kawan, bahwa Habib Abubakar Adni al Masyhur (bukan alaydrus, dan masih hidup, murid Habib Abdul Qodir bin Ahmad), mengkategorikan ada toriqoh ashabul yamin dan toriqoh al muqorrabun. Toriqoh ashhabul yamin adalah toriqoh mendekatkan diri kepada Allah dengan perjalanan yang perlahan step by step, lebih sesuai untuk kebanyakan orang.
Sedangkan toriqoh al muqorrabun adalah jalan tol masuk ke hadirat Allah. Memerlukan tekad baja, dan resikonya juga besar, dan beliau mengatakan bahwa ini kurang sesuai untuk zaman ini.
Umat haus akan tasawuf, tapi ketika baca literatur tasawuf mereka merasa bahwa tasawuf itu adalah sesuatu yg di luar jangkauan. Sehingga mungkin memang perlu dikemas: tasawuf yang mudah dicerna.
Sebenarnya kalau kita melirik ke buku-buku Imam Haddad, akan kita dapati tasawuf yang mudah dicerna, (bahkan kata-kata 'tasawuf' pun sulit atau tidak banyak kita temukan), dan pendekatannya sederhana sekali dan simpel serta mudah diikuti. Bahkan sangat praktis, tinggal diamalkan step by step. Kalau kita ibaratkan, buku-buku Imam Haddad itu seperti buku-buku "How To": "How to be a wali in 30 days", "How to achieve maqom ridho in 3 months".
Al Habib Umar mengatakan bahwa mengamalkan kitab Risalah Mu'awanah akan menyampaikan seseorang kepada Allah.
Wallahu A'lam.
Tasawuf
Prof. KH Ali Yafie melihat banyak pelajaran yang tetap relevan diteruskan sekarang dan untuk masa depan dari tradisi tasawuf dan tarekat sekaligus. Mantan ketua MUI ini pun menyarankan, pengertian tasawuf harus disederhanakan agar gerakan sufisme menjadi lebih efektif dan mudah dipraktekkan. "Terlebih dalam suasana dimana nafsu liar telah menguasai kebanyakan umat manusia, kita perlu menyederhanakan pengertian tasawuf itu agar nilai moral yang dikandungnya mudah diserap dan gampang dipraktekkan," begitu katanya dalam satu kesempatan.
Secara diam-diam, Guru Besar Universitas Islam Asy-Syafi'iyyah ini ternyata tengah mengembangkan rumusan ajaran tasawuf yang lebih sederhana dan mudah dijalankan. Disebuah pesantren yang dimpinnya, dibilangan Desa Sukamaju, Kadudampit, Sukabumi, Jawa Barat, Prof. KH Ali Yafie mencoba untuk membumikan kembali rumusan nilai-nilai sufisme dalam konteks kekinian dan kedisinian.
Bagaimana pandangan Prof. KH. Ali Yafie melihat realitas sosial kehidupan bangsa akhir belakangan ini, sejauh mana pengaruh nafsu liar itu berpengaruh pada aktifitas dan kreatifitas bangsa ini, apa maksud nilai-nilai tasawuf yang disederhanakan serta bagaimana langkah riil yang dipilihnya untuk membumikan tasawuf dalam konteks kekinian dan kedisinian, berikut wawancara Cahaya Sufi dengan Ketua Badan Pengelola Pesantren Kepemimpinan Amanah beberapa waktu lalu:
Cahaya Sufi (CS):
Bagaimana komentar Anda menyaksikan nasib buruk yang seolah tidak berkesudahan di alami bangsa ini?
Ali Yafie (AY):
Sangat memprihatinkan.
CS:
Maksud Anda?
AY:
Kondisi umat semakin parah. Sekarang kita menjumpai banyak orang yang tak punya rasa malu. Ada orang yang menipu dengan rasa bangga. Ada orang yang sehari-hari berbicara rohani, tapi inti hidupnya jauh dari atmosfir rohani. Ada orang yang tiap saat berbicara keadilan tapi kredo hidupnya sangat memusuhi dan bertentangan dengan keadilan. Ada orang yang tiap saat bicara sikap anti kekerasan tapi hidupnya memuja kekerasan. Ada orang yang tiap hari bicara kemanusiaan tapi watak dasarnya anti kemanusiaan. Rakyat menjadi saksi digantikannya para koruptor dengan koruptor-koruptor yang lain. Sejarah berputar dari mulut singa ke mulut buaya.
CS:
Bukankah masyarakat kita masyarakat yang religius dan dakwah di stasiun televisi juga marak?
AY:
Betul, tapi sayang, pemahaman keagamaan masyarakat kita masih sangat dangkal sekali. Dan ini yang membuat setiap keputusan yang diambil lebih karena hawa nafsunya masing-masing. Ya, seleranya sendiri-sendiri, organisasinya sendiri, partainya sendiri. Akibatnya semua yang dilakukan terasa seperti buru-buru dan dangkal sekali. Kaum pemikir pun berpikir sangat buru-buru dan rela membayar mahal berupa kehilangan kedalaman renungan. Para penentu kebijakan merumuskan kebijakan secara buru-buru dan darurat. Target sasaran meleset. Dan suasana dakwah keagamaan kita, dakwah lewat televisi maupun diatas mimbar, dimana-mana didominasi sikap serba normatif.
CS:
Implikasi berikutnya?
AY:
Nafsu itu senanitasa diliputi oleh prilaku buruk dan ia memiliki karakter untuk selalu menyimpang dari etika yang ada. Hal inilah yang juga menyebabkan antar anak-anak bangsa semakin sulit bersikap toleran. Bahkan di dalam hidup beragama akhirnya kita kesulitan menemukan kenyamanan berkreatifitas dan kehangatan dalam beribadah. Semua ini terjadi karena dorongan hawa nafsu yang menjerumuskan kebanyakan kita haus publisitas. Haus publisitas menafikan kerendah-hatian, lalu muncullah fantasi dan kesombongan.
CS:
Bisa jelaskan kategorisasi nafsu dalam Al-Quran?
AY:
Al-Quran menyebut tiga jenis nafsu;
Pertama, nafsul ammaarah (Q.S. Yusuf: 53; red).
Kedua, nafsul lawwaamah (Q.S. Al-Qiyamah: 1 -2).
Ketiga, nafsul muthmainnah (Q.S. Al-Fajr: 2 - 8; red).
CS:
Penjabarannya bagaimana?
AY:
Nafsul ammaarah itu adalah nafsu yang tak terkendali, akibat dari kehilangan sistem kontrol akal. Orang yang terjerat dalam Nafsul ammaarah umumnya tak memiliki rasa sesal ketika melakukan dosa dan ia enjoy dengan maksiat yang di kerjakannya.
Nafsul lawwaamah adalah nafsu yang tak terkendali, akibat dari lemahnya sistem kontrol akal yang dimilikinya. Orang yang berada dibawah kendali nafsu macam ini senang berbuat dosa tapi menyesal setelah dosa ia lakukan.
Nafsul muthmainnah adalah nafsu yang benar-benar terkendali. Orang yang memiliki nafsu model ini jiwanya sudah stabil dan tak mudah goyah. Ia menghadap keharibaan Ilahi penuh dengan kebersihan hati.
Masih berkaitan dengan nafsu, pernah satu hari selepas pulang dari perang badar, nabi bersabda:
"roja'naa minal jihaadil ashghar ilaa jihaadil akbar"
(Kita telah kembali pulang dari jihad terkecil menuju jihad terbesar).
Salah seorang sahabat bertanya:
"Wamaa hiya jihaadul akbar ?"
(Apa yang engkau maksud dengan jihad terbesar, ya Rasul ?).
Nabi pun menjawab:
"Jihaadun nafsi"
(perang melawan hawa nafsu).
CS:
Dimana titik temunya dengan penjelasan anda tentang nafsu di atas?
AY:
Benar, asbabul wurud (sebab turunnya hadis; red) hadis itu muncul seusai perang Badar. Dan anda perhatikan untuk perang badar yang dahsyat itu, Rasulullah masih mengkategorikannya sebagai perang terkecil, sedang untuk perang melawan hawa nafsu, Rasulullah menyifatinya dengan perang yang maha besar. Ini artinya bahwa perang melawan hawa nafsu itu jauh lebih dahsyat ketimbang perang bertempur melawan musuh yang kasat mata. Ini pula berarti, bahwa genderang perang melawan hawa nafsu harus terus ditabuh setiap waktu dan ini harus terjadi pada setiap diri.
CS:
Mengapa harus ada kategorisasi "jihad Ashgor" dan "jihad akbar"?
AY:
Dalam khazanah Islam ada beberapa bentuk aktifitas yang memiliki akar kata yang sama dengan istilah "jihad". Kata "jihad" itu berasal dari aljuhdu yang artinya kerja keras, mengerahkan segenap kemampuan secara optimal. Dari aljuhdu melahirkan tiga cabang kata, yaitu mujahadah, jihad dan ijtihad.
CS:
Penjelasannya seperti apa?
AY:
Mujahadah adalah mengerahkan segenap kemampuan mental spiritual dalam memerangi syetan dan hawa nafsu.
Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan fisik-materi dalam membela kebenaran (agama) Islam.
Ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan berpikir untuk mencapai suatu kebenaran.
Nah, ketiga hal ini merupakan satu kesatuan yang harus dijalankan oleh setiap muslim. Semua potesi mental, fisik dan intelektual harus dikerahkan seoptimal mungkin untuk menegakkan agama Allah.
CS:
Tapi kenapa beberapa kelompok muslim mudah sekali mengklaim bahwa apa yang dilakukannya jihad sambil menunjukkan sikap arogansi mereka?
AY:
Nah itu dia yang saya katakan tadi, pemahaman keagamaan umat kita masih dangkal sekali. Padahal jihad dalam arti perang sabil terkandung di dalamnya juga aspek jihad melawan hawa nafsu. Buat orang-orang yang terlalu bernafsu untuk berjihad, tanpa didukung kualitas mental yang prima, akan melahirkan sikap merasa paling benar sendiri, sok gagah, merasa paling membela Allah. Jihad dalam arti perang sabil harus diawali dengan kemampuan jihad melawan hawa nafsu. Sehingga jihad dalam arti perang sabil mampu menarik empati kawan dan lawan.
CS:
Realitas diatas apa lahir dari fiqh oriented?
AY:
O, tidak ! Tetap, penyebabnya adalah karena kedangkalan pemahaman keagamaan sebagian saudara-saudara kita, bukan karena fiqh nya.
(Prof. KH. Ali Yafie diam sejenak, merunduk menarik nafas, dengan mata berbinar seolah menahan kesalah-pahaman yang selama ini terjadi ditengah umat, lalu melanjutkan penjelasan)
Kalau orang mau mengkaji kitab-kitab fiqh (yang ada dalam kitab-kitab kuning) kita tidak menemukan shalat yang mula-mula diperkenalkan. Tidak ada fiqh yang bab pertamanya shalat. Fiqh itu bab pertamanya tentang kebersihan atau thaharah.
Lalu mengenai bab kebersihan (babuth thaharah) ini dimulai dengan pembahasan tentang air. Air bersih! Nah sekarang dunia sadar kan? Kepentingan manusia sehat itu ya air bersih. Jadi betapa hebatnya ilmu fiqh itu kalau bisa ditangkap jiwanya. Karenanya tidak ada pertentangan antara syari'at dan tarekat. Syarat bersih lahir ada pada fiqh, sedang bersih batin terdapat pada tasawuf. Jadi keduanya merupakan satu keutuhan dan tidak bisa dipisah-pisah. Fiqh macam ini disebut tafaqquh fiddin, memahami agama secara benar lalu mengamalkan secara benar.
CS:
Untuk itu Anda, bersama rekan, mendirikan pesantren ini?
(Dengan tawa khas seorang alim yang bijak, kiyai bersahaja ini menjawab)
AY:
Saya dan kawan-kawan hanya melengkapi tawaran lain untuk menjawab problem kehidupan umat yang semakin individualis dan materialis. Pesantren ini didirikan untuk mengembangkan potensi mental, fisik dan spiritual umat. Materi, kajian dan sistem belajar mengajar yang ada di pesantren ini berbeda dengan pesantren-pesantren umumnya.
CS:
Apa secara spesifik, kajian tasawuf juga diajarkan di pesantren yang anda bina?
AY:
Ya, tapi tasawuf yang sudah saya sederhanakan.
CS:
Kenapa harus disederhanakan?
AY:
Kita melihat pemahaman tasawuf dan tradisi sufisme di kalangan pesantren-pesantren konvensional amat bagus sekali, tapi ketika harus disampaikan kepada masyarakat metropolis ia butuh kemasan yang dibutuhkan bagi masyarakat metropolis. Nah ketika di tengah masyarakat metropolis terjadi "kemelekan spiritual" saya dan kawan-kawan di pesantren ini mencoba untuk "membumi"-kan-nya kembali. Kita tanamkan pengertian bahwa yang namanya tasawuf itu adalah membina pola hidup bersih, sederhana, dan mengabdi. Sederhana sekali rumusnya, bukan?
Bersih dalam pengertian utuh, bukan cuma jasmani tapi juga bersih ruhani, fikiran dan bersih niat. Itu kebersihan yang utuh.
Tentang pola sederhana kita sampaikan bahwa sederhana itu tidak boros, tidak bermewah-mewah, bukan berarti harus hidup miskin, tidak ! Artinya hidup berkecukupan yang terhormat. Dan ini yang namanya sederhana.
Begitu pula dengan pemahaman mengabdi, mengabdi artinya tidak hidup untuk dirinya sendiri. Hidup juga untuk orang lain. Itulah yang kita bina disini.
Tasawuf yang seperti itu yang kita sampaikan di pesantren ini. Pendek kata, kita sederhanakan pengertian tasawuf itu agar mudah diserap dan mudah dipraktekkan, yang penting ada kesungguhan.
CS:
Kami lihat di sekitar pesantren ada semacam flying fox, sungai track, ladang persawahan, perkebunan, perkemahan, kolam ikan dan tempat pembuatan gula aren, apa itu semua bagian dari tasawuf yang disederhanakan?
AY:
Ya, semua itu sarana untuk mengeleminir atau alat bantu untuk belajar menaklukkan kecenderungan mencapai keinginan pribadi, kenikmatan sensual, kesenangan jasmaniah, bersenang-senang, keinginan untuk diperhatikan, diistimewakan dan dianggap sebagai orang yang paling penting. Pendek kata, sebagai media belajar untuk menaklukkan hawa nafsu dan meletakkan akal sehat di atas tiga kekuatan yang bermuara pada hawa nafsu.
CS:
Dengan tradisi tarekat?
AY:
Yang namanya tarekat itu banyak yang sifatnya kondisional. Artinya sesuai dengan kondisinya pada masanya. Dan sebenarnya kalau kita kaji lebih dalam dan kita buat perbandingan-perbandingan, semua tarekat itu punya kesamaan di dalam prinsip. Mirip juga dengan prinsip yang kita kembangkan di sini (pesantren yang beliau pimpin, maksudnya; red).
CS:
Apa misalnya?
AY:
Yang dominan itu dalam tarekat itu wirid. (Wirid merupakan latihan spiritual berupa pengucapan doa-doa dan Nama-nama Tuhan. Wirid diberikan kepada murid oleh mursyidnya untuk diamalkan setiap hari; red). Kalau kita telusuri wirid-wirid dalam beberapa tarekat seolah ada ada kesepakatan dalam unsur.
Ada tiga unsur yang terdapat di semua tarekat, yaitu :
1. Unsur istighfar, formulasinya macam-macam, ada astaghfirullah, ada robbighfirlii. Formulasinya beda tapi intinya istighfar. Istigfar itu adalah wujud dari pembersihan rohani.
2. Unsur shalawat karena kalau dikaitkan Rasulullah itu contoh yang baik, jadi jiwa kita harus dekat dengan Rasulullah, dengan shalawat. Semua tarekat itu punya shalawat meski formatnya berbeda-beda. Tapi semuanya pakai shalawat.
3. Yang terakhir itu tahlil, kalimat laailaahaillallah. Kalimat ini merupakan prinsip yang paling mengakar didalam Islam.
Jadi, ketiga-tiganya itu ada di semua tarekat cuma formulasinya lain, metodologinya lain, cuma itu bedanya.
Dan di sini kita menggunakan istilah-istilah spiritual journey, spiritual update, siyahah ruhiyyah dan istilah lain yang mengandung unsur muhasabah (muhasabah adalah analisis terus menerus atas hati berikut keadaannya yang selalu berubah; red), muraqabah (istilah muraqabah diterapkan pada konsentrasi penuh waspada, dengan segenap kekuatan jiwa, pikiran dan imajinasi, serta pemeriksaan dengan sang hamba mengawasi dirinya sendiri dengan cermat; red) dan mujahadah (mujahadah adalah perjuangan dan upaya spiritual melawan hawa nafsu dan berbagai kecenderungan jiwa rendah atau nafs, ia juga merupakan Perang Suci Besar yang menggunakan berbagai senjata samawi dalam bentuk mengingat Allah; red).
CS:
Nampaknya anda memahami sekali tragedi nafsu manusia moderen?
AY:
Sudah menjadi tugas kita semua untuk membangun kerangka peradaban secara utuh, lengkap dengan "daging" dan "ruh"nya. Aneka insiden tragedi nafsu manusia moderen harusnya membuka kesadaran kita bahwa nilai-nilai spiritual harus disampaikan secara utuh, lengkap dengan sosok dan contohnya (keteladanan; red). Jangan sampai terjadi, ketika hawa nafsu telah menjadi siksaan kolektif yang tak bisa dihindari manusia moderen, mereka seolah sulit sekali menemukan tawaran nilai di tengah kehidupan.
Tuesday, October 28, 2008
Perintah Allah atau Hawa Nafsu?
Gemah - Semarang. Majlis pembacaan rotib Alhaddad dan maulid Simthud Durror malam Senin 26 Oktober 2008 lalu tidak dihadiri oleh habib Alwi bin Abdullah Alhasni karena beliau belum pulang dari Pemalang, ibu beliau sakit. Semoga Allah Swt menyembuhkan beliau, amin.
Meski begitu, kami tetap hadir demi menjaga keistiqomahan majlis ini, bahkan kami kedatangan tamu yaitu ustadz Ro'is. Kami hanya membaca rotib Alhaddad.
Ustadz Ro'is ini oleh teman-teman diundang hadir malam ini selain untuk menjalin silaturrohim dengan habib Alwi dan ustadz Nur Amin (ta'mir mushola), juga demi menjaga adab dan mengharap barokah Allah Swt. Di mushola ini sudah ada habib Alwi yang mengasuh majlis terlebih dulu, sedangkan ustadz Ro'is baru akan mengajar, jadi yang baru masuk silaturrohim dulu pada yang lama masuk.
Kami ingin beliau-beliau saling mengenal satu dengan lainnya sehingga (harapan kami) selain kami bisa istiqomah (rutin dan terus menerus) hadir di majlis-majlis yang diadakan di mushola ini, juga semoga masyarakat digerakkan hati mereka oleh Allah Swt untuk hadir bersama kami mengambil ilmu dari habaib dan ustadz yang mengajar di sini.
Di akhir majlis, ustadz Ro'is menyampaikan bahwa kita sebaiknya dalam melakukan segala sesuatu harus diniatkan karena menjalankan perintah Allah Swt.Bagaimana mengerti perintah Allah Swt? Menurut ustadz Ro'is, kalau kita lapar maka saat itu kita diperintah Allah Swt untuk makan. Makanlah setelah lapar sebab dengan begini kita akan lebih merasakan nikmatnya makanan apapun yang kita miliki.
Kalau kita mengantuk maka kita diperintahkan Allah Swt untuk tidur. Jangan memaksakan diri untuk belum mau tidur disaat kita mengantuk karena merasa saat itu kita sedang melakukan perbuatan baik! Mungkin kita sedang berbuat baik tapi kalau ini mengakibatkan kita meninggalkan perbuatan yang lebih utama berikutnya, maka lebih baik kita tidur agar nanti bisa melakukan perbuatan utama tsb.
Mengaji sampai larut malam sambil menahan kantuk itu boleh tapi kalau mengakibatkan kita terlambat bangun tidur yang berarti terlambat pula sholat subuh kita, maka lebih baik kita tidur agar tidak terlambat sholat subuh kita.
Kalau butuh sesuatu maka ini berarti kita diperintah Allah Swt untuk berkerja menjemput rizqi. Berkerja lalu mengumpulkan uang boleh tapi hindari selalu merasa kurang dengan apa yang kita dapatkan sebab kalau dituruti tidak akan pernah ada habisnya.
Ustadz Ro'is menasehatkan agar kita berlatih mengenali keinginanan kita ini merupakan perintah Allah Swt atau perintah hawa nafsu kita. Insya Allah bisa dengan perjuangan yang gigih. Kalau kita menuruti keinginan kita karena hawa nafsu kita, maka Tuhan kita bukan Allah Swt tapi hawa nafsu kita.
Semua bisa menjadi lebih baik insya Allah asal ada niat dan usaha.
Monday, October 27, 2008
Hati yang Ceria
Kalimat itu yang dinasehatkan kepada saya dua malam yang lalu, entah karena kondisi hati saya saat itu atau karena tulisan catatan nasehat-nasehat kakak R.A. Kartini yang saya baca, saya kurang tahu tapi mungkin keduanya. Yang jelas apa yang dinasehatkan itu membuat saya lebih memahami kondisi saya dan tulisan tsb.
Nasehat itu disampaikan dalam bahasa Jawa, terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia adalah:
"Keceriaan hati adalah yang dikehendaki Allah Swt, keceriaan pikiran adalah tuntutan raga / badan."
Di sini ada hati, pikiran dan badan, tiga ornamen yang ada pada kita yang mana keadaan ketiganya saling berhubungan erat satu dengan lainnya. Jika satu saja sedang bermasalah, maka dua yang lain ikut merasakannya.
Tetapi yang paling berperan adalah hati, apapun keadaan hati akan berpengaruh pada pikiran dan jasad.
Hati yang sering dipakai untuk membenci orang lain yang tidak sejalan dengan kita maka akan membuat pikiran kita senantiasa berprasangka buruk pada orang tsb. Apa yang dia lakukan selalu kita anggap buruk, padahal semuanya pekerjaan pikiran kita yang sudah tidak suka padanya. Kalau hati dan pikiran sudah begini, maka tangan, mulut, mata, kaki akan mewujudkan apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan. Mulut mudah mencela, tangan mudah menuding bahwa dia buruk, mata melirik sinis, kaki melangkah menjauhinya dsb.
Orang yang sering benci, marah, su'udzon, iri dengki dsb akan lebih mudah lelah bahkan sakit. Terbukti ada orang yang check-up ke dokter karena merasakan sakit pada badannya, tapi ketika diperiksa normal. Dokter paham ini akibat dari beban pikiran dari pasien tsb. Apapun obat yang diberikan tidak akan membantunya sebab dia tidak menjaga pikirannya dari memikirkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.
Badan sehat jika pikiran tenang dan ceria. Pikiran yang tenang dan ceria diperoleh dengan menjaga hati agar ceria dan senantiasa berbaik sangka.
Ketika keadaan tsb berhasil kita dapati maka kita akan mudah untuk beribadah seperti shodaqoh kita tambah ikhlas dsb. Jika orang seperti ini berdakwah maka dakwahnya akan diikuti masyarakat karena masyarakat mendapat manfaat darinya lewat perkataan dan sikapnya yang lembut serta ke-ringan-tangan-annya membantu masyarakat sehingga terkurangi beban masalah mereka. Masyarakat pun mengambil ilmu darinya tanpa paksaan, semua senang ketika hati kita senang.
Hati yang ceria tidak membutuhkan balasan dari apa yang dilakukannya, tidak ada pamrih, hanya memberi saja.
"Nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake."
(Menyerang tanpa tentara, menang tanpa merendahkan).
Friday, October 24, 2008
Menikah 1
Salah satu teman kami insya Allah akan menikah beberapa hari lagi.
Habib Alwi Alhasni tidak bosan-bosannya memberikan nasehat-nasehat tentang pernikahan padanya, tentang bagaimana kebiasaan-kebiasaan baik yang dilakukan oleh para pendahulu kita dalam segala hal yang berhubungan dengan pernikahan.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut dilakukan karena berharap agar pernikahan ini dapat ridho Allah Swt, syafaat Rosulullah Saw dan kita dikaruniai keturunan-keturunan yang sholeh dan sholehah.Awal, seorang anak meniru orang-tuanya ketika dia melihat orang tuanya melakukan suatu perbuatan. Ini akan terekam kuat. Anak tidak tahu yang dia lakukan itu baik atau buruk, dia hanya meniru apa yang dia lihat. Oleh karena itu, agar anak meniru yang baik maka kita harus melakukan berbagai perbuatan baik.
Untuk bisa berbuat baik maka kita harus membiasakan diri dulu jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan sebelum kita menikah kita harus membiasakan diri untuk berbuat berbagai hal yang baik dulu. Kalau kita sudah terbiasa berbuat baik sebelum menikah maka saat menikah pun kita insya Allah akan tetap berbuat baik. Jika ini berlangsung hingga kita punya anak, insya Allah anak kita akan meniru kita berbuat baik.
Daya rekam anak amat kuat hingga apa yang dia tiru dari orang-tuanya akan terbawa sampai dia dewasa nanti. Disaat dia dewasa, dia akan tetap berbuat baik sampai dia punya anak cucu kelak, dan insya Allah keturunannya pun jadi pelaku-pelaku kebaikan sebagaimana orang-tuanya. Semua akan jadi pelaku kebaikan.Seandainya setiap orang berbuat baik, maka insya Allah suatu saat nanti akan muncul generasi-generasi pelaku kebaikan. Dan kebaikan akan tersebar luas.
Ini harus dimulai dari diri kita meniru berbagai perbuatan baik dalam banyak hal yang dilakukan pendahulu kita yang sholeh.Itu alasan kenapa habib Alwi mengajari teman kami yang akan menikah ini untuk berniat baik sebelum menikah, adab tata krama serta do'a-do'a yang berhubungan badan, sholat sunnah dsb.
Dan malam ini di rumah calon pengantin laki-laki, dengan diiringi gerimis tipis habib Alwi Alhasni membacakan rotib Alhaddad dan maulid Simthud Durror dengan mengundang masyarakat sekitar. Dua hari lagi insya Allah aqod nikahnya.
Awal yang baik, insya Allah berakhir baik. Amin.
Thursday, October 23, 2008
Berkumpulah dengan Orang Baik
Selain puasa tidak makan minum juga tidak kalah pentingnya yaitu pikiran kita di-puasa-kan juga. Pikiran dan hati ini di-puasa-kan dengan semaksimal mungkin untuk tidak su'udzon dan khusnudzon pada siapa pun juga.
Kaki, tangan, mulut, mata dan telinga puasa tidak melakukan perbuatan yang bisa menjauhkan kita dari Allah Swt seperti jangan berjalan ke tempat yang bisa membuat kita lupa pada Allah Swt, jangan memakai tangan untuk menyakiti orang lain, jangan berbicara dengan cara yang bisa memperburuk keadaan, jangan melihat hal yang tidak bermanfaat bagi kebutuhan akhirat kita dan jangan mendengar perkataan yang bisa membangkitkan hawa nafs kita. Dan puasa dari kekhawatiran-kekhawatiran yang merugikan kita.
Untuk itu kita harus memperhatikan dengan siapa kita berkumpul. Barang siapa sering berkumpul dengan pelaku keburukan dan tidak mau berkumpul dengan pelaku kebaikan maka dia akan meniru kebiasaan buruk teman berkumpulnya itu.
Semangat kita naik turun, disaat semangat sedang turun maka berkumpulah dengan pelaku kebaikan, insya Allah bersemangat lagi. Berkumpulah dengan orang-orang yang senang melakukan kebaikan agar kita meniru mereka.
Wednesday, October 22, 2008
Poligami
Kisah ini menimbulkan pendapat-pendapat yang pro dan kontra diantara kami. Berikut cuplikan tanya jawab tersebut.
A :
Stupid comments...
Sirik tanda tak mampu....!
Sudah punya perusahaan yang omsetnya 110 M?
Sudah bisa menghidupi orang banyak dengan punya banyak perusahaan?
Masih kerja sama orang lain?
Sudah bisa menafkahi orang lain?
Sudah berapa puluh orang miskin yang sudah Anda tolong?
jika belum, lebih baik Anda diam...komentar Anda hanya akan memalukan diri Anda sendiri
Agus :
Hmm…
Kalo seandainya saya sudah mampu seperti dibawah ini…
- sudah punya perusahaan yang omsetnya 110 M
- sudah bisa menghidupi orang banyak dengan punya banyak perusahaan
- sudah bisa menafkahi orang lain
- sudah menolong banyak orang
Apakah saya boleh melakukan pedhofil? Tanya kenapa?
Just curious
Yusa :
Ya kalau Anda mau dan mampu silahkan aja...tapi maap sepertinya istilah pedhofil kurang cocok dalam hal ini.
Agus :
Maaf untuk semua…saya lupa untuk menghapus email-email yang sebelumnya, sebenernya mau bahas hal lain. Yaitu apakah kalau kita mampu “secara” seperti syarat-syarat itu, boleh menyimpang2 “dikit” dari aturan-aturan norma-norma masyarakat yang ada saat ini?
Regards
Yusa :
Menyimpang itu sangat relatif, begini maksud saya...setiap daerah punya aturan atau kebiasaan yang dilakukan penduduk di daerah tsb. Di Jawa punya kebiasaan yang berbeda dengan Sumatra, akan berbeda pula dengan Kalimantan , Papua, Aceh dsb.
Di Jawa biasa ada acara "mitoni" (acara baca tahlil dan do'a ketika wanita hamil usia 7 bulan) tapi di Saudi mungkin tidak ada, jadi bagi orang Jawa yang tidak melakukan acara "mitoni" bisa jadi terkesan "menyimpang" ...tapi apakah salah tidak "mitoni"? Tidak, acara itu baik, tidak mengadakan acara tsb juga tidak apa-apa.
Demikian juga dengan keyakinan dalam hal keagamaan tentu masing-masing punya kebiasaan. Bagi keyakinan tertentu tidak melarang makan daging babi, tapi bagi Islam ini menyimpang. Manakah yang benar? Ya masing-masing benar sesuai keyakinannya masing-masing.
Dalam Islam pun ada banyak madzhab, yang masing-masing madzhab punya masing-masing aturan atau kebiasaan. Jadi, lakum dinnukum waliyaddin ajalah. Agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku. Maksudnya kurang lebih adalah mari melakukan sesuai keyakinan kita dan lebih baik jangan menghakimi kebiasaan dan aturan orang lain sebagai sesuai yang menyimpang misalnya.
Poligami adalah tidak terlarang bagi yang mampu. Mampunya seperti apa itu juga sangat relatif. Yang tidak boleh adalah memaksakan diri. Wallahu a'lam.
Agus :
Terimakasih pak yusa, namun saya masih ada bebebrapa ganjalan, seperti:
1. Jadi apakah ada hukum didalam islam yang menyatakan boleh menikahi gadis / anak gadis yang masih dibawah umur?
2. Dan manakah yang lebih tinggi kedudukannya hukum islam atau hukum Negara?
3. Apakah pendapat pribadi bapak jika ada kasus seorang pria yang sudah dewasa menikahi anak2 berumur 11-12 tahun?
Yang saya maksud disini adalah aturan-aturan dan atau norma-norma yang berlaku umum dan bukan kedaerahan.
Regards
Yusa :
Secara pribadi, saya memilih untuk mendahulukan aturan-aturan agama daripada aturan-aturan negara. Tapi kalau aturan-aturan negara itu sesuai dengan aturan-aturan agama maka itu sangat baik.
Nabi Muhammad Saw adalah teladan yang terbaik, apa yang beliau Saw lakukan adalah lebih baik kita lakukan. Akan tetapi kalau kita tidak mampu ya jangan memaksakan diri untuk melakukannya. Poligami misalnya, belum tentu tiap orang mampu untuk poligami maka jangan memaksakan diri untuk berpoligami. Lebih baik melakukan yang kita mampu melakukannya dengan baik dan istiqomah (rutin).
Nabi Saw menikahi sayidah A'isyah dalam usia muda, dikisahkan beliau "berkumpul" dengan istrinya ketika dia sudah saatnya, seperti yang dilakukan orang yang jadi ide diskusi kita. Kalau rujukan kita adalah Nabi Muhammad Saw maka boleh melakukan apa yang dilakukan Nabi Muhammad Saw selama kita mampu. Mampu dalam artinya yang sangat luas. Mampu materi jelas, mampu dhohir, mampu batin, mampu hatinya, pikirannya, mampu adil, mampu tersenyum lebih sering, mampu lebih bersabar, mampu lebih bersyukur, mampu lebih ikhlas dsb.
Bagi saya, kalau ada orang melakukan seperti yang dilakukan orang tsb itu ya silahkan aja selama tidak melanggar aturan-aturan agama. Kalau seseorang melakukan suatu perbuatan maka dia insya Allah merasa mampu untuk melakukannya dengan baik dan adil. Jadi boleh-boleh aja...tapi tindakan seperti ini tidak wajib ditiru oleh kita.
Tidak wajib ini berarti boleh dilakukan dan tidak melakukannya pun tidak apa-apa.
Sony :
Mas Yusa,
Mohon maaf sebelumnya, melu urun rembug.
Kalau sudah mendasarkan pada doktrin agama sering jadi repot, apalagi seringkali agama dipandang sbg lembaga yg kebal dari kesalahan, karena mendapat mandate langsung dari sang Pencipta. Nabi juga manusia yg bisa salah. Kitab Suci juga bisa salah atau tdk sesuai dg konteks jaman. Namun hal-hal demikian sering dianggap tabu oleh banyak agama. Aturan dan ritual agama juga mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Ajaran atau pengertian agama juga banyak mengalami revisi dari waktu ke waktu, disesuaikan dg zaman dan kemajuan oleh pikir dan batin manusia.
Maaf sekali lagi, hal di atas ini adalah tabu dibicarakan dalam agama, karena sering dianggap menodai kesahihan agama.
Jika kita ambil pertimbangan biologis, umur 11 tahun jelas belum sepenuhnya siap untuk hamil dengan aman, resiko keguguran dan kwalitas anak yg dikandung juga banyak diragukan oleh kedokteran. Menjadi hamil saja sudah menjadi maslah berat bagi anak sesusia itu, apalagi harus menyusui dll yg membutuhkan stamina khusus. Maka atas pertimbangan itu, tidak disarankan utk menikah / kawin pada usia terlalu muda semacam itu, sekalipun mungkin secara fisik sudah bisa hamil.
Jika kita ambil pertimbangan psikologis, anak usia 11 tahun belum cukup matang untuk merawat dirinya sendiri apalagi jika harus merawat anak dan harus bertanggung jawab sepenuhnya. Pekerjaan seorang ibu bukan hanya melayani suami, masak menyajikan minuman, termasuk kebutuhan biologis, tetapi juga mengasuh anak serta menjadi teman diskusi suaminya. Maka secara psikologis kesenjangan usia yg terpaut kelewat jauh juga berisiko menimbulkan hubungan suami istri yg tdk sepadan dan harmonis.
Dari sisi pendidikan, anak seumur itu masih butuh bermain, mengembangkan diri secara alami, menikmati masa remajanya, bergaul dengan teman sebayanya, bersekolah. Bermain sendiri juga merupakan bagian dari persiapannya utk lebih matang dan siap utk mjd ibu yg baik. Maka mengikat anak seusia itu dalam perkawinan sungguh seperti mencabut rumput dari tanahnya dan membebaninya dg masalah-masalah yang belum saatnya ia tanggung.
Uang dan jabatan bukan solusi dan menjawab semua persoalan kebutuhan hidup.
Maka kembali ke agama, agama mestinya dikembangkan untuk membantu manusia menjalani hidup dengan lebih baik dan terhormat serta beradab.
Yusa :
Hehehe...pendapat mas baik sekali, saya setuju.
Masing-masing orang beda dalam menikmati waktu di dalam hidupnya. Memang dianjurkan kita melakukan sesuai dengan usia kita, kalau masih dalam usia main-main maka biarkan dia main-main. Tapi banyak anak di bawah 10 tahun yang hafal Alqur'an. Menghafal Alqur'an bukan hal yang mudah dan sangat menyita waktu, tapi seorang anak di bawah 10 tahun mampu melakukannya dan dia menikmati apa yang dia lakukan.
Yang orang lain lakukan belum tentu cocok bagi kita, yang kita tidak mampu untuk melakukannya maka belum tentu orang lain tidak mampu melakukannya juga. Tiap kita ada kesukaan masing-masing, ada cara masing-masing bagaimana menikmati waktu kita masing-masing.
Berhubungan badan dengan pasangan sah kita setelah menikah itu tidak wajib dilakukan begitu kita kita mengucapkan aqod nikah. Tidak wajib maksudnya adalah berhubungan badan ini boleh ditunda dengan persetujuan bersama, suami ridho dan istri ikhlas serta keluarga memahami.
Pada dasarnya, ada sebagian orang yang sesuai dengan kondisi yang mas jelaskan di bawah, tapi ada yang sesuai dengan kondisi seperti orang tsb. Masing-masing bagus asal menyesuaikan dengan tempatnya dan kecocokan pribadinya dengan lingkungan keluarganya.
David Goh :
Salam mas Yusa..boleh tanya...
1. Jika mas punya anak perempuan umur 11 tahun, dan ada seorang yang mau menikahi, karena sudah siap, anak mas juga bilang siap, apakah mas akan katakan padanya?
2. ada kata-kata kurang lebih: "yang adil hanya ALLAH" artinya tidak ada yang adil didunia ini, bagaimana kita bisa menakarnya adil bagi seseorang, sehingga seseorang layak di sebut adil? mohon petunjuk...
3. Maaf untuk mas Yusa dan saudaraku yang muslim, mohon bertanya, apakah Nabi Muhamad itu sempurna (tanpa dosa), kalau tidak bisa beri petunjuk?
Terima kasih sebelumnya.. kalau dirasa kurang berkenan, jangan direspon.. maaf sebelumnya...
Yusa :
1. Wallahu a'lam...selama semua sudah mau dan mampu serta tidak saling melanggar aturan-aturan agama insya Allah saya lakukan.
2. Ada dua yaitu Tuhan dan yang selain Tuhan disebut makhluq. Kalau Tuhan itu Maha Adil maka makhluq tidak Maha Adil, boleh poligami kalau merasa dirinya siap berlaku adil kepada istri-istrinya nanti. Adil yang bagaimana, apakah adil yang seperti Nabi Saw 100%? Tentu tidak sebab tidak ada orang yang akan sama dengan Nabi Saw 100%. Adil sesuai kadar kita masing2.
Sama halnya dengan khusyuk. Sholat yang utama adalah yang khusyuk seperti yang dicontohkan Nabi Saw. Nah, kalau kita harus khusyuk seperti Nabi Saw maka bagaimana sholat kita? Tentu tidak akan diterima lha wong tidak khusyuk seperti Nabi Saw! Khusyuk itu sesuai kadar kemampuan kita masing2. Allah Swt Maha Tahu.
Jadi poligami itu tidak terlarang tapi juga tidak diwajibkan bagi umat Nabi Saw. Semua balik ke kita, apakah kita mampu atau tidak mencontoh Nabi Saw, kalau tidak mampu maka jangan berpoligami kalau hanya akan menimbulkan masalah saja. Kalau seandainya dengan dia berpoligami akan menimbulkan banyak manfaat buat keluarga dan lingkungannya seperti yang dicontohkan Nabi Saw maka tidak dilarang.
3. Nabi Saw itu diciptakan sebelum Allah Swt menciptakan apapun, semua diciptakan untuk Nabi Saw. Allah Swt mengkaruniakan hidayah-Nya, keselamatan pada beliau Saw dan semuanya. Kalau semua diciptakan untuk Nabi Saw maka Nabi Saw tentu tidak menginginkan dunia seisinya.
David Goh :
Salam mas Yusa, terima Kasih jawabannya, tambahan tanya:
1. apa yang akan Mas katakan (nasehat) pada anak Mas? (kalau semua sudah sesuai jawaban mas)
2. ooohhh adilnya tidak ada ukuran pasti ya.. terima kasih jawabannya...
3. Jadinya ada Dosa atau Tidak?
Mohon petunjuk lagi.
Yusa :
1. Jadilah wanita sholehah.
2. Teladannya adalah yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw, berusaha meneladani beliau Saw semaksimal yang kita bisa. Tapi tidak bisa kalau diharuskan adilnya kita sama persis dengan adilnya Nabi Muhammad Saw, sebab iman kita tidak sama dengan iman Nabi Saw jadi berlakulah adil semaksimal kita. Dan jangan memaksakan diri.
3. Dosa ada, yang menentukan kita itu berdosa atau tidak adalah Allah Swt, bukan makhluq. Kita hanya boleh mengingatkan bahwa ada perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan murka-Nya pada kita yang melakukan larangan-larangan- Nya. Murka-Nya mendatangkan dosa. Ridho-Nya mendatangkan pahala.
David Goh :
Terima kasih jawabannya mas Yusa...
Yusa :
Sama-sama, pak...
Halal-bi-halal Grup Pecel - Semarang
Berlawanan arah jarum jam : Mas Yudi, mas Hariana, mas Trisno, pak Sudrajat dan mas Marsel.
Berlawanan arah jarum jam : Pak Sudrajat, (tidak tahu), (tidak tahu), pak Medy dan mas Trisno.
Alhamdulillah tadi malam grup Pecel - Semarang (yang dimotori oleh pak Sudrajat, pak Medi, mas Yudi, mas Trisno dsb) sukses mengadakan halal-bi-halal sekaligus silaturrahim dengan mengundang pembicara utama ustadz Taji - praktisi sholat khusyuk-nya ustadz Abu Sangkan di kantor pak Medi.
Total yang hadir 26 orang antara lain:
1. Pak Medi
2. Pak Sudrajat
3. Mas Yudi
4. Mas Trisno
5. Mas Andri + istri
6. Mas Marsel
7. Mas Hariana + istri
8. Mas Sumanto
9. Mas Jazuli
10. Mas Abdulqodir Alaydrus
11. Mas Iman
12. Ustadz Taji dkk
Ustadz Taji menyampaikan antara lain tentang sholat khusyuk dan bagaimana agar bisa khusyuk. Menurut beliau, sholat yang khusyuk itu kita saat sholat masih sadar (artinya tetap masih bisa mendengar suara-suara disekitar kita dsb) tapi kita tidak lagi dibatasi oleh bacaan-bacaan sholat sehingga kita sholat bisa berjam-jam karena kita menikmati indahnya "pertemuan" dengan-Nya.
Untuk bisa merasakan kenikmatan seperti itu dibutuhkan latihan silatun (bisa disebut juga dengan tafakur atau meditasi atau patrap dsb), silatun adalah kegiatan yang menyerahkan diri total pada-Nya dengan meletakkan segala urusan keduniaan kita lalu kita mengingat Allah Swt (dalam arti ingat ke-Maha-an Allah Swt, tidak mengingat tulisan ALLAH).
Tenangkan badan kita, hilangkan segala gambaran-gambaran yang terlintas sebab kalau tidak diputus saat melihat gambaran-gambaran maka akan terus bermunculan gambar-gambar lanjutannya dan akibatnya kita berhenti sampai disitu, padahal tujuan kita adalah Allah Swt.
Dengan silatun ustadz Taji mengajarkan bagaimana agar saat sholat kita benar-benar menyerahkan diri secara total pada-Nya sehingga kita tidak lagi bergerak tapi digerakkan oleh-Nya.Saat takbir, kita tidak lagi menyengajakan diri untuk bergerak mengangkat tangan tapi kini tangan kita digerakkan oleh-Nya terangkat pelan menikmati indahnya pengakuan ke-Maha-Besar- an Allah Swt.
Tangan bergerak, mulut mengucap kalimat ALLAHU AKBAR, hati mengakui bahwa Allah Swt itu Tuhan yang patut diagungkan dan ditaati segala perintah-Nya lewat Nabi Muhammad Saw, dan kita akui bahwa kita hamba-Nya.
Tugas hamba itu mengabdi pada Allah Swt. Abdi yang utama adalah yang sudah tidak lagi mengeluh, tidak lagi khawatir, tidak lagi takut. Abdi itu yakin pada Allah Swt lewat Nabi Muhammad Saw dengan semua perintah, anjuran dan larangan-Nya.
Kurang lebih demikian yang saya pahami dari apa yang disampaikan oleh ustadz Taji dengan gaya sersan (serius tapi santai).
Tuesday, October 21, 2008
Majlis Maulid
Dengan diiringi angin kencang yang akhir-akhir ini melanda Semarang dan sekitarnya ditambah hujan deras, kami 9 orang yang hadir malam ini mencoba tidak terpengaruh dengan hujan angin di luar. Yang hadir terlihat menikmati alunan syair-syair rotib dan maulid yang dibacakan oleh habib Alwi. Meski tidak banyakyang hadir tapi kami berniat untuk istiqomah.
Di akhir majlis, habib Alwi menyampaikan tentang pentingnya berguru pada orang yang tepat agar kita selamat dunia akhirat. Guru adalah orang mengajarkan ilmu pada kita meski hanya satu huruf. Untuk ilmu agama harus diajarkan oleh orang yang bersambung ilmunya pada Rosulullah Saw.
Dalam pengertian yang lebih luas, menurut habib Alwi, semua yang ada di alam ini bisa menjadi guru kita. Maksudnya adalah dari semua kejadian, orang bahkan dari binatang di sekitar kita pun bisa diambil hikmah untuk memperbaiki diri kita dan untuk menambah kebaikan kita.
Berguru itu butuh adap agar ilmu kita barokah. Barokah itu kalau kita mensyukuri atas semua yang kita miliki dan atas semua apa yang terjadi pada kita. Kita belum punya rumah ya alhamdulillah masih bisa kontrak kamar atau rumah, kita masih jauh lebih enak dibandingkan mereka yang tidak punya penghasilan untuk menyewa kamar seperti kita.
Kita dimaki-maki orang ya alhamdulillah kita masih bisa mendengar yang berarti kita masih punya telinga. Seandainya kita tidak punya telinga maka nikmat mendengar kita pun hilang. Bisa melihat nikmat, bisa bicara nikmat, bisa berjalan juga nikmat, punya apapun nikmat. Kalau begitu semuanya nikmat dan nikmat.
Syukur atas nikmat-nikmat dari Allah Swt adalah wajib bagi yang mengetahui.
Dan, habib Alwi melanjutkan, adap terhadap guru sekarang ini kurang diperhatikan mereka yang menuntut ilmu. Murid sekarang banyak protes sekiranya perintah gurunya tidak sesuai dengan keinginannya.
Guru yang benar-benar guru tentu paham apa yang terbaik bagi muridnya, jadi meskipun menurut murid perintah guru tidak baik tapi sebenarnya itu yang terbaik buat muridnya. Guru paham kalau murid melakukan hal yang dilarangnya maka dia akan dapat kesusahan dan bahkan keburukan saja, tidak akan menyampaikannya pada tujuan.
Guru memberikan yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Adalah tambahan nikmat kalau yang kita butuhkan menurut guru tersebut juga merupakan hal yang kita inginkan.