Oleh : Habib Ismail F. Alatas - Milis Zawiya
Great discussion guys,
Hanya menambahkan sedikit apa yang ditulis saudara Hani Ba'agil (di bawah). Konsep tariqah Muqarrabun & Tariqah Ashabul Yamin bukan konsep yang diperkenalkan oleh Habib Abubakar Adni al-Mashhur tetapi adalah konsep yang digunakan oleh Imam al-Haddad pada saat beliau memformulasikan bentuk baru untuk tariqa 'alawiyya yang lebih umum dan 'user friendly'. Jelas, bahwa di zaman al-Haddad, sudah terjadi banyak perubakan struktural pada masyarakat Hadramaut, khususnya menyusul perebutan kekuasaan oleh bangsa Yafi'i.
Kondisi politik yang tidak menentu, pergulatan kekuasaan antara qabilah-qabilah Hadramaut dan Yafi'i menyebabkan institusi lama yang sebelumnya efektif dalam mempertahankan perdamaiaan dan stabilitas tidak lagi berjalan. Institusi Mansobah misalnya, yang sebelumnya cukup efektif dalam penyebaran agama dikalangan para qabail dan menjaga perdamaiaan antar mereka tidak lagi efektif seperti sebelumnya. Hal ini dikarenakan Qabilah-qabilah Yafi'i tidak mengakui otoritas spiritual para munsib selain al-Syaikh Abubakr (karena Habib Husein b. Syaikh Abubakr-lah yang pertama membawa kaum Yafi'i untuk memperkuat kesultanan Kathiri I dimasa Sultan Badr Bu Tuwayriq).
Interpretasi ana dalam membaca beberapa karya al-Haddad khususnya Tasbit al-Fu'ad, dimana beliau banyak melancarkan kritik sosial dan politik terhadap masyarakat Hadramaut dizamannya (dan juga di koleksi inilah beliau memperkenalkan Tariqa Ashabul Yamin as oppose to Tariqa Muqarrabun), adalah bahwa ada semacam ketidak-puasan dalam benak al-Haddad akan tasawwuf elitis yang selama ini diajarkan dalam di Hadramaut dimana hanya golongan Ba'alawi dan sebagian dari Masyaikh yang memperoleh banyak manfaat. Bagaimana dengan golongan Qabail, Fallah, Masakin yang sebetulnya merupakan letak dari problematika sosial di Hadramaut kala itu? Ungkapan-ungkapan al-Haddad di Tasbitul Fuad terkesan sangat elegiac dan kelam hingga beliau sempat terpikir untuk berhijrah dari Hadramaut ke Mirbath tetapi karena beban keluarga, wanita dan anak-anak, beliau mengurungkan niatnya ('Wa lanā mawḍi’ hijra illa mirbat, lakin ma yumkinuna dhalik li ajl al-makalif wa al-sighar wa nahwihim,’ Tathbit al-Fuad, vol. I, p. 72). Mungkin analogi yang bagus adalah membandingkan ketidak-puasan al-Haddad di beberapa bagian Tasbit al-Fuad dan kemurungan Ghazali di bagian awal al-Munqidz min al-Dzalal.
Al-Haddad yang murung kemudian mulai memformulasi pemikirannya guna membawa perubahan yang lebih baik di Hadramaut. Beliau melihat dua level yang harus secara bersamaan di benahi karena kedua tigkat ini sangat komplementer. Ana pernah menulis tentang hal ini untuk sebuah artikel, dan dibawah ini ada paste-kan beberapa bagian dari paper tersebut mengenai dua solusi yang diberikan al-Haddad:
1. On the individual level, al-Ḥaddad asserted the importance of the Ṭariqa for people. He noted the elitist nature of the Ṭariqa ‘Alawiyya, in that directional practices were only given to the elites, leaving the cult of saints for the masses. For al-Ḥaddad, character and moral developments for every members of the society are what were needed in Hadramaut. In order to do this, al-Ḥaddad reconstructed the method (manḥaj) of Ṭariqa ‘Alawiyya from its elitist form to become a more popular and achievable spiritual path. The idea was to generate participation from broader public to practice the Ṭariqa. The new form of Ṭarīqa ‘Alawiyya was what al-Haddad termed as Tariqa Ashab al-Yamin (the way of the people of the right hand) as oppose to the old Tariqa al-Muqarrabin (the way of the drawn near). According to al-Haddad, the practices of the past had become unbearable for his generation. The past generation had stronger certainty (yaqin), they had more of what is lawful and were closer to the time of the Prophet. For al-Haddad, people of his generation should not look at the devotions of great sufi masters such as Bishr or al-Fud ayl as even the companions of the Prophet did not do as much as they. For al-Haddad, hard devotional efforts (riyad a) and retreat (‘uzla):
"are inappropriate in this age that lacks their specific conditions, such as lawful (h alāl) provision and other things. Those who base their affair on maintaining their obligatory acts of worship, avoiding prohibited things, performing what supererogatory acts (nawafil) they can, enjoining good and forbidding evil, assisting the weak, helping the needy or taking charge of his expenses, and other similar things, and firmly keep to this, may yet obtain that which [earlier people] had obtained through their devotional efforts and retreats."
See: ‘Abd Allah b. ‘Alawi al-Haddad, Tathbit al-Fuad, vol. I, pp. 30-33. The direct quotation is from p. 33.
2. In regards to the society, al-Haddad championed the establishment of a strong state (dawla), ensuring a functioning society based on the sacred law (shari’a). In 1702, he composed a book entitled al-Da’wa al-Tamma wa al-Tadhkira al-‘Amma [The Complete Calling and the General Reminder] consisting of critiques of the society. He classified society into eight categories: scholars, sufis, kings and rulers, merchants and craftsmen, the poor and the weak, dependents such as women, children and servants, common people and non-Muslims. Al-Haddad explains the responsibilities and duties of each classes within shar’i framework. This book can be seen as a blueprint for a utopia based on shar’i rules. Al-Haddad therefore offered an alternative way for the ordering of society, which reflects his background as a sedentary, land owning and learned gentleman.
Pemikiran yang disodorkan oleh al-Haddad ini merupakan sebuah perubahan paradigma, dan disinilah letak dasar dari pemikiran-pemikiran Ba'alawi pada masa selanjutnya. Legacy al-Haddad terus hidup dalam pemikiran sesudahnya yang tetap melihat al-Haddad sebagai reformer par excellence. Konsep masyarakat yang ditulisa dalam Da'wa al-Tamma misalnya, diusung kembali dengan sophistikasi yang lebih dalam oleh H. Ahmad b. 'Umar bin Sumayt. Bukan hanya dalam bentuk teori, Ibn Sumayt juga turut mencoba mempraktekan sistem masyarakat baru di Shibam pada zamannya. Banyak kemiripan antara al-Haddad dan Ghazali, tentu ini merupakan subjek yang sangat menarik untuk mutalaah dan research lebih lanjut serta pembacaan-pembacaan ulang terhadap karya-karya beliau.
Mungkin itu saja, sebagai apresiasi terhadap diskusi yang sangat menarik!
Ismail F. Alatas
Doctoral Program in Anthropology and History
University of Michigan
1029 Tisch Hall
435 South State St.
Ann Arbor (MI), 48109-1003
Email: ifalatas@umich.edu
No comments:
Post a Comment
Silahkan sampaikan tanggapan Anda atas tulisan di atas.