Berikut dari habib Husein bin Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad Alhabsyi - Solo :
Prof. KH Ali Yafie melihat banyak pelajaran yang tetap relevan diteruskan sekarang dan untuk masa depan dari tradisi tasawuf dan tarekat sekaligus. Mantan ketua MUI ini pun menyarankan, pengertian tasawuf harus disederhanakan agar gerakan sufisme menjadi lebih efektif dan mudah dipraktekkan. "Terlebih dalam suasana dimana nafsu liar telah menguasai kebanyakan umat manusia, kita perlu menyederhanakan pengertian tasawuf itu agar nilai moral yang dikandungnya mudah diserap dan gampang dipraktekkan," begitu katanya dalam satu kesempatan.
Secara diam-diam, Guru Besar Universitas Islam Asy-Syafi'iyyah ini ternyata tengah mengembangkan rumusan ajaran tasawuf yang lebih sederhana dan mudah dijalankan. Disebuah pesantren yang dimpinnya, dibilangan Desa Sukamaju, Kadudampit, Sukabumi, Jawa Barat, Prof. KH Ali Yafie mencoba untuk membumikan kembali rumusan nilai-nilai sufisme dalam konteks kekinian dan kedisinian.
Bagaimana pandangan Prof. KH. Ali Yafie melihat realitas sosial kehidupan bangsa akhir belakangan ini, sejauh mana pengaruh nafsu liar itu berpengaruh pada aktifitas dan kreatifitas bangsa ini, apa maksud nilai-nilai tasawuf yang disederhanakan serta bagaimana langkah riil yang dipilihnya untuk membumikan tasawuf dalam konteks kekinian dan kedisinian, berikut wawancara Cahaya Sufi dengan Ketua Badan Pengelola Pesantren Kepemimpinan Amanah beberapa waktu lalu:
Cahaya Sufi (CS):
Bagaimana komentar Anda menyaksikan nasib buruk yang seolah tidak berkesudahan di alami bangsa ini?
Ali Yafie (AY):
Sangat memprihatinkan.
CS:
Maksud Anda?
AY:
Kondisi umat semakin parah. Sekarang kita menjumpai banyak orang yang tak punya rasa malu. Ada orang yang menipu dengan rasa bangga. Ada orang yang sehari-hari berbicara rohani, tapi inti hidupnya jauh dari atmosfir rohani. Ada orang yang tiap saat berbicara keadilan tapi kredo hidupnya sangat memusuhi dan bertentangan dengan keadilan. Ada orang yang tiap saat bicara sikap anti kekerasan tapi hidupnya memuja kekerasan. Ada orang yang tiap hari bicara kemanusiaan tapi watak dasarnya anti kemanusiaan. Rakyat menjadi saksi digantikannya para koruptor dengan koruptor-koruptor yang lain. Sejarah berputar dari mulut singa ke mulut buaya.
CS:
Bukankah masyarakat kita masyarakat yang religius dan dakwah di stasiun televisi juga marak?
AY:
Betul, tapi sayang, pemahaman keagamaan masyarakat kita masih sangat dangkal sekali. Dan ini yang membuat setiap keputusan yang diambil lebih karena hawa nafsunya masing-masing. Ya, seleranya sendiri-sendiri, organisasinya sendiri, partainya sendiri. Akibatnya semua yang dilakukan terasa seperti buru-buru dan dangkal sekali. Kaum pemikir pun berpikir sangat buru-buru dan rela membayar mahal berupa kehilangan kedalaman renungan. Para penentu kebijakan merumuskan kebijakan secara buru-buru dan darurat. Target sasaran meleset. Dan suasana dakwah keagamaan kita, dakwah lewat televisi maupun diatas mimbar, dimana-mana didominasi sikap serba normatif.
CS:
Implikasi berikutnya?
AY:
Nafsu itu senanitasa diliputi oleh prilaku buruk dan ia memiliki karakter untuk selalu menyimpang dari etika yang ada. Hal inilah yang juga menyebabkan antar anak-anak bangsa semakin sulit bersikap toleran. Bahkan di dalam hidup beragama akhirnya kita kesulitan menemukan kenyamanan berkreatifitas dan kehangatan dalam beribadah. Semua ini terjadi karena dorongan hawa nafsu yang menjerumuskan kebanyakan kita haus publisitas. Haus publisitas menafikan kerendah-hatian, lalu muncullah fantasi dan kesombongan.
CS:
Bisa jelaskan kategorisasi nafsu dalam Al-Quran?
AY:
Al-Quran menyebut tiga jenis nafsu;
Pertama, nafsul ammaarah (Q.S. Yusuf: 53; red).
Kedua, nafsul lawwaamah (Q.S. Al-Qiyamah: 1 -2).
Ketiga, nafsul muthmainnah (Q.S. Al-Fajr: 2 - 8; red).
CS:
Penjabarannya bagaimana?
AY:
Nafsul ammaarah itu adalah nafsu yang tak terkendali, akibat dari kehilangan sistem kontrol akal. Orang yang terjerat dalam Nafsul ammaarah umumnya tak memiliki rasa sesal ketika melakukan dosa dan ia enjoy dengan maksiat yang di kerjakannya.
Nafsul lawwaamah adalah nafsu yang tak terkendali, akibat dari lemahnya sistem kontrol akal yang dimilikinya. Orang yang berada dibawah kendali nafsu macam ini senang berbuat dosa tapi menyesal setelah dosa ia lakukan.
Nafsul muthmainnah adalah nafsu yang benar-benar terkendali. Orang yang memiliki nafsu model ini jiwanya sudah stabil dan tak mudah goyah. Ia menghadap keharibaan Ilahi penuh dengan kebersihan hati.
Masih berkaitan dengan nafsu, pernah satu hari selepas pulang dari perang badar, nabi bersabda:
"roja'naa minal jihaadil ashghar ilaa jihaadil akbar"
(Kita telah kembali pulang dari jihad terkecil menuju jihad terbesar).
Salah seorang sahabat bertanya:
"Wamaa hiya jihaadul akbar ?"
(Apa yang engkau maksud dengan jihad terbesar, ya Rasul ?).
Nabi pun menjawab:
"Jihaadun nafsi"
(perang melawan hawa nafsu).
CS:
Dimana titik temunya dengan penjelasan anda tentang nafsu di atas?
AY:
Benar, asbabul wurud (sebab turunnya hadis; red) hadis itu muncul seusai perang Badar. Dan anda perhatikan untuk perang badar yang dahsyat itu, Rasulullah masih mengkategorikannya sebagai perang terkecil, sedang untuk perang melawan hawa nafsu, Rasulullah menyifatinya dengan perang yang maha besar. Ini artinya bahwa perang melawan hawa nafsu itu jauh lebih dahsyat ketimbang perang bertempur melawan musuh yang kasat mata. Ini pula berarti, bahwa genderang perang melawan hawa nafsu harus terus ditabuh setiap waktu dan ini harus terjadi pada setiap diri.
CS:
Mengapa harus ada kategorisasi "jihad Ashgor" dan "jihad akbar"?
AY:
Dalam khazanah Islam ada beberapa bentuk aktifitas yang memiliki akar kata yang sama dengan istilah "jihad". Kata "jihad" itu berasal dari aljuhdu yang artinya kerja keras, mengerahkan segenap kemampuan secara optimal. Dari aljuhdu melahirkan tiga cabang kata, yaitu mujahadah, jihad dan ijtihad.
CS:
Penjelasannya seperti apa?
AY:
Mujahadah adalah mengerahkan segenap kemampuan mental spiritual dalam memerangi syetan dan hawa nafsu.
Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan fisik-materi dalam membela kebenaran (agama) Islam.
Ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan berpikir untuk mencapai suatu kebenaran.
Nah, ketiga hal ini merupakan satu kesatuan yang harus dijalankan oleh setiap muslim. Semua potesi mental, fisik dan intelektual harus dikerahkan seoptimal mungkin untuk menegakkan agama Allah.
CS:
Tapi kenapa beberapa kelompok muslim mudah sekali mengklaim bahwa apa yang dilakukannya jihad sambil menunjukkan sikap arogansi mereka?
AY:
Nah itu dia yang saya katakan tadi, pemahaman keagamaan umat kita masih dangkal sekali. Padahal jihad dalam arti perang sabil terkandung di dalamnya juga aspek jihad melawan hawa nafsu. Buat orang-orang yang terlalu bernafsu untuk berjihad, tanpa didukung kualitas mental yang prima, akan melahirkan sikap merasa paling benar sendiri, sok gagah, merasa paling membela Allah. Jihad dalam arti perang sabil harus diawali dengan kemampuan jihad melawan hawa nafsu. Sehingga jihad dalam arti perang sabil mampu menarik empati kawan dan lawan.
CS:
Realitas diatas apa lahir dari fiqh oriented?
AY:
O, tidak ! Tetap, penyebabnya adalah karena kedangkalan pemahaman keagamaan sebagian saudara-saudara kita, bukan karena fiqh nya.
(Prof. KH. Ali Yafie diam sejenak, merunduk menarik nafas, dengan mata berbinar seolah menahan kesalah-pahaman yang selama ini terjadi ditengah umat, lalu melanjutkan penjelasan)
Kalau orang mau mengkaji kitab-kitab fiqh (yang ada dalam kitab-kitab kuning) kita tidak menemukan shalat yang mula-mula diperkenalkan. Tidak ada fiqh yang bab pertamanya shalat. Fiqh itu bab pertamanya tentang kebersihan atau thaharah.
Lalu mengenai bab kebersihan (babuth thaharah) ini dimulai dengan pembahasan tentang air. Air bersih! Nah sekarang dunia sadar kan? Kepentingan manusia sehat itu ya air bersih. Jadi betapa hebatnya ilmu fiqh itu kalau bisa ditangkap jiwanya. Karenanya tidak ada pertentangan antara syari'at dan tarekat. Syarat bersih lahir ada pada fiqh, sedang bersih batin terdapat pada tasawuf. Jadi keduanya merupakan satu keutuhan dan tidak bisa dipisah-pisah. Fiqh macam ini disebut tafaqquh fiddin, memahami agama secara benar lalu mengamalkan secara benar.
CS:
Untuk itu Anda, bersama rekan, mendirikan pesantren ini?
(Dengan tawa khas seorang alim yang bijak, kiyai bersahaja ini menjawab)
AY:
Saya dan kawan-kawan hanya melengkapi tawaran lain untuk menjawab problem kehidupan umat yang semakin individualis dan materialis. Pesantren ini didirikan untuk mengembangkan potensi mental, fisik dan spiritual umat. Materi, kajian dan sistem belajar mengajar yang ada di pesantren ini berbeda dengan pesantren-pesantren umumnya.
CS:
Apa secara spesifik, kajian tasawuf juga diajarkan di pesantren yang anda bina?
AY:
Ya, tapi tasawuf yang sudah saya sederhanakan.
CS:
Kenapa harus disederhanakan?
AY:
Kita melihat pemahaman tasawuf dan tradisi sufisme di kalangan pesantren-pesantren konvensional amat bagus sekali, tapi ketika harus disampaikan kepada masyarakat metropolis ia butuh kemasan yang dibutuhkan bagi masyarakat metropolis. Nah ketika di tengah masyarakat metropolis terjadi "kemelekan spiritual" saya dan kawan-kawan di pesantren ini mencoba untuk "membumi"-kan-nya kembali. Kita tanamkan pengertian bahwa yang namanya tasawuf itu adalah membina pola hidup bersih, sederhana, dan mengabdi. Sederhana sekali rumusnya, bukan?
Bersih dalam pengertian utuh, bukan cuma jasmani tapi juga bersih ruhani, fikiran dan bersih niat. Itu kebersihan yang utuh.
Tentang pola sederhana kita sampaikan bahwa sederhana itu tidak boros, tidak bermewah-mewah, bukan berarti harus hidup miskin, tidak ! Artinya hidup berkecukupan yang terhormat. Dan ini yang namanya sederhana.
Begitu pula dengan pemahaman mengabdi, mengabdi artinya tidak hidup untuk dirinya sendiri. Hidup juga untuk orang lain. Itulah yang kita bina disini.
Tasawuf yang seperti itu yang kita sampaikan di pesantren ini. Pendek kata, kita sederhanakan pengertian tasawuf itu agar mudah diserap dan mudah dipraktekkan, yang penting ada kesungguhan.
CS:
Kami lihat di sekitar pesantren ada semacam flying fox, sungai track, ladang persawahan, perkebunan, perkemahan, kolam ikan dan tempat pembuatan gula aren, apa itu semua bagian dari tasawuf yang disederhanakan?
AY:
Ya, semua itu sarana untuk mengeleminir atau alat bantu untuk belajar menaklukkan kecenderungan mencapai keinginan pribadi, kenikmatan sensual, kesenangan jasmaniah, bersenang-senang, keinginan untuk diperhatikan, diistimewakan dan dianggap sebagai orang yang paling penting. Pendek kata, sebagai media belajar untuk menaklukkan hawa nafsu dan meletakkan akal sehat di atas tiga kekuatan yang bermuara pada hawa nafsu.
CS:
Dengan tradisi tarekat?
AY:
Yang namanya tarekat itu banyak yang sifatnya kondisional. Artinya sesuai dengan kondisinya pada masanya. Dan sebenarnya kalau kita kaji lebih dalam dan kita buat perbandingan-perbandingan, semua tarekat itu punya kesamaan di dalam prinsip. Mirip juga dengan prinsip yang kita kembangkan di sini (pesantren yang beliau pimpin, maksudnya; red).
CS:
Apa misalnya?
AY:
Yang dominan itu dalam tarekat itu wirid. (Wirid merupakan latihan spiritual berupa pengucapan doa-doa dan Nama-nama Tuhan. Wirid diberikan kepada murid oleh mursyidnya untuk diamalkan setiap hari; red). Kalau kita telusuri wirid-wirid dalam beberapa tarekat seolah ada ada kesepakatan dalam unsur.
Ada tiga unsur yang terdapat di semua tarekat, yaitu :
1. Unsur istighfar, formulasinya macam-macam, ada astaghfirullah, ada robbighfirlii. Formulasinya beda tapi intinya istighfar. Istigfar itu adalah wujud dari pembersihan rohani.
2. Unsur shalawat karena kalau dikaitkan Rasulullah itu contoh yang baik, jadi jiwa kita harus dekat dengan Rasulullah, dengan shalawat. Semua tarekat itu punya shalawat meski formatnya berbeda-beda. Tapi semuanya pakai shalawat.
3. Yang terakhir itu tahlil, kalimat laailaahaillallah. Kalimat ini merupakan prinsip yang paling mengakar didalam Islam.
Jadi, ketiga-tiganya itu ada di semua tarekat cuma formulasinya lain, metodologinya lain, cuma itu bedanya.
Dan di sini kita menggunakan istilah-istilah spiritual journey, spiritual update, siyahah ruhiyyah dan istilah lain yang mengandung unsur muhasabah (muhasabah adalah analisis terus menerus atas hati berikut keadaannya yang selalu berubah; red), muraqabah (istilah muraqabah diterapkan pada konsentrasi penuh waspada, dengan segenap kekuatan jiwa, pikiran dan imajinasi, serta pemeriksaan dengan sang hamba mengawasi dirinya sendiri dengan cermat; red) dan mujahadah (mujahadah adalah perjuangan dan upaya spiritual melawan hawa nafsu dan berbagai kecenderungan jiwa rendah atau nafs, ia juga merupakan Perang Suci Besar yang menggunakan berbagai senjata samawi dalam bentuk mengingat Allah; red).
CS:
Nampaknya anda memahami sekali tragedi nafsu manusia moderen?
AY:
Sudah menjadi tugas kita semua untuk membangun kerangka peradaban secara utuh, lengkap dengan "daging" dan "ruh"nya. Aneka insiden tragedi nafsu manusia moderen harusnya membuka kesadaran kita bahwa nilai-nilai spiritual harus disampaikan secara utuh, lengkap dengan sosok dan contohnya (keteladanan; red). Jangan sampai terjadi, ketika hawa nafsu telah menjadi siksaan kolektif yang tak bisa dihindari manusia moderen, mereka seolah sulit sekali menemukan tawaran nilai di tengah kehidupan.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu
ReplyDeleteBismillah Khairil Asma
Allahumma Shalli ala Muhammad wa ala Aali Muhammad
Kami mengundang saudara-saudara semua untuk berkunjung
ke website kami :
http://www.hasanhusein.blogspot.com
Wassalam