Friday, March 06, 2020

Pandangan Islam tentang Lingkungan Hidup



Oleh: Ustadz Muhtarifin Sholeh.
Di mushola Nurul Huda, perumahan Gemah Permai, Semarang.


Assalamu'alaikum wa rahmatulah wa barakatuh.

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Ada 3 macam lingkungan, yaitu sebagai berikut:
1. Lingkungan sosial.
2. Lingkungan budaya.
3. Lingkungan hidup.

Dalam bahasa Arab, kata Al 'Alam itu maknanya tunggal, hanya satu alam, bentuk jamaknya adalah Al 'alamin (artinya alam semesta, mencakup semua alam mulai dari alam ghaib sampai alam kita, alam kandungan, alam Barzah dan alam akhirat).

Sedangkan yang kita bahas di sini adalah Al Kaun, yaitu lingkungan yang ada di bumi di mana ada dunia manusia lalu hewan, tumbuhan, pepohonan dan lain sebagai di muka bumi. Maka kalau kita dengar ada ayat-ayat Kauniyah itu maksudnya ayat-ayat Allaah Ta'ala yang ada di muka bumi ini, sekitar kita ini.

Merupakan bagian dari lingkungan kita adalah bintang-bintang dan planet-planet yang dijelaskan di ilmu Kosmologi (yaitu ilmu yang mempelajari asal mula alam semesta, planet dan bintang, lalu evolusinya, kehidupannya hingga berakhirnya).

Di Al Qur'an surat ke-15 Al-Ḥijr : 85 dijelaskan sebagai berikut:

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَإِنَّ السَّاعَةَ لَآتِيَةٌ ۖ فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ

Artinya:
"Dan Kami tidak menciptakan langit dan Bumi serta apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan kebenaran. Dan sungguh, kiamat pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik."

Ayat ini menjelakan bahwa Allaah Ta'ala menciptakan semua benda di langit dan bumi tidak sia-sia dan benar, benar adanya dan benar saling bermanfaat sehingga membentuk kehidupan, mendukung kelangsungan kehidupan.

Sehingga kemudian manusia berpikir dan merumuskan ilmu-ilmu termasuk mengukur jarak, jarak di bumi memakai banyak satuan ukur (kilometer, meter, milimeter, inchi, kaki dan seterusnya), dan untuk angkasa ada satuan ukuran "kecepatan cahaya" karena satuan kilometer misalnya tidak bisa dipakai di luar angkasa. Di mana 1 detik cahaya melesat akan menempuh jarak hampir 300.000 kilometer. Jarak antar bintang dan antar planet mencapai tahunan kecepatan cahaya, artinya mencapai jutaan kilometer.

Semua benda langit dan bumi yang luar biasa ini diciptakan Allaah Ta'ala dengan sempurna, seperti manusia, ada kelahiran bintang dan planet dan ada kematian bintang dan planet. Berpasangan, ada lahir dan ada mati, punya batas waktu juga, batas waktu terakhir adalah kiamat kelak.

Ayat ini menghibur Rasulullaah Muhammad Saw ketika dakwahnya banyak ditentang, semua sudah ditetapkan Allaah Ta'ala, maka Allaah Ta'ala menyuruh Rasulullaah Muhammad Saw memaafkan mereka dan terus berdakwah.

Di sini hanya melihat dari sisi alam semesta ini diciptakan oleh Allaah Ta'ala dengan semua keluarbiasaannya, luar biasa menakjubkan dengan detail lalu jarak dan sebagainya yang fantastis, yang ini menjadikan manusia menentukan satuan waktu di bumi dan angkasa.

Kemudian di ayat lain Al Qur'an surat ke-22 Al-Ḥajj : 47 dijelaskan perbandingan waktu sebagai berikut:

وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ وَلَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ ۚ وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

Artinya:
"Dan mereka meminta kepadamu (Muhammad) agar adzab itu disegerakan, padahal Allaah tidak akan menyalahi janji-Nya. Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu."

Jadi 1 hari akhirat ini sebanding dengan 1.000 tahun dunia. Tapi ada ulama menafsirkan ini maksudnya ada orang kafir menolak dakwah Rasulullaah Muhammad Saw bahkan menantang agar adzab diturunkan sebagai bukti, di ayat ini digambarkan adzab Allaah Ta'ala di akhirat kelak dahsyat keras pedih bagi mereka sehingga 1 hari penyiksaan di akhirat bagi mereka akan terasa seperti 1.000 tahun di bumi. Sehari penyiksaan akan terasa sangat lama bagi mereka.

Kemudian di ayat lain yaitu di Al Qur'an surat ke-70 Al-Ma'ārij : 4 dijelaskan sebagai berikut:

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Artinya:
"Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun."

Ayat ini disebutkan 1 hari akhirat setara dengan 50.000 tahun bumi. Tapi ulama lain menafsirkan bahwa ayat ini sama seperti Al Qur'an surat Al-Hajj ayat 47 tadi, bahwa ada orang kafir yang menolak dakwah Rasulullaah Muhammad Saw dan menantang didatangkan adzab Allaah Ta'ala, maka bagi mereka adzab di hari kiamat sangat dahsyat pedih sehingga akan dirasakan oleh mereka setara dengan 50.000 tahun waktu bumi lamanya, sedangkan bagi orang-orang yang beriman akan terasa singkat.

Dengan acuan 1 hari akhirat setara dengan 1.000 tahun bumi, katakanlah usia manusia 100 tahun selama hidup, 100 tahun itu setara dengan 2.4 jam waktu akhirat. Menurut Al Qur'an surat Al-Hajj ayat 47. Sangat singkat kehidupan di bumi.

Sedang dengan acuan 1 hari akhirat setara dengan 50.000 tahun waktu bumi, kalau usia manusia 100 tahun maka 100 tahun itu setara dengan 2.88 menit waktu akhirat. Menurut Al Qur'an surat Al-Ma'arij ayat 4. Sangat singkat kehidupan di bumi.

Jelas bahwa kehidupan manusia ini sesungguhnya sangat singkat, sangat kecil baik dimensi waktu atau ruang. Secara ukuran, ukuran bumi ini dibandingkan planet-planet dan bintang-bintang lainnya sangat kecil sekali bahkan setara dengan setitik debu bagi yang ukurannya jauh lebih besar.

Bumi saja sangat kecil dibanding alam semesta, apalagi manusia yang ukuran tubuh manusia sangat kecil dibandingkan ukuran bumi.

Allaahu akbar!

Waktu di bumi yg singkat ini (1 hari akhirat = 1.000 tahun bumi / 1 hari akhirat = 50.000 tahun bumi) dimaksimalkan untuk jadi lebih baik.

Itu yang manusia bisa dan harus lakukan!

Menjadi manusia yang lebih baik ini luas maknanya, makna dlohir atau pun batin. Untuk makna dlohir, manusia harus baik-baik menjaga lingkungan tempat dia tinggal agar ekosistem di sana berjalan lancar.

Ekosistem adalah suatu hubungan timbal balik dari makhluk hidup dengan lingkungannya. Manusia membutuhkan hewan, pohon, tanah, air, udara, batu dan seterusnya, demikian juga hewan butuh manusia, butuh pohon dan seterusnya. Semua saling membutuhkan, saling memberikan manfaat. Jadi manusia tidak boleh sembarangan dalam berkehidupan, tidak boleh semaunya sendiri tanpa mempertimbangkan ekosistem.

Misal hubungan antara manusia dengan oksigen, manusia membutuhkan oksigen, sementara tumbuhan itu mengeluarkan oksigen (O²) dan menyerap karbon dioksida (CO²). Sedangkan manusia mengeluarkan CO² dan membutuhkan O². Manusia dan tumbuhan saling membutuhkan.

Oleh sebab itu manusia harus menjaga kelestarian tumbuhan, tidak boleh ditebang semaunya sendiri karena bisa membuat tumbuhan habis. Kalau tumbuhan habis, maka manusia akan mengalami kekeringan, air menipis, udara menipis, bahkan bisa menyebabkan banjir atau longsor. Itu terjadi karena ekosistem terganggu.

Itu tadi contoh ekosistem, ilmu yang mempelajari tentang ekosistem adalah ekologi. Ini penting dipelajari oleh manusia sebagai kholifah di bumi.

Kemudian di Al Qur'an surat ke-35 Faatir : 27 dijelaskan sebagai berikut:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا ۚ وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ

Artinya:
"Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat."

Allaah Ta'ala mengkaruniakan buah-buahan pada manusia yang banyak sekali ragamnya, yang mana buah itu tumbuh dari pohon yang subur berkat siraman air hujan yang Allaah Ta'ala turunkan. Di ayat tersebut dipakai kata "Kami", maknanya adalah untuk terjadi dibutuhkan banyak proses dan keterlibatan banyak makhluq.

Di ayat ini dijelaskan dengan air hujan, buah-buahan tumbuh subur, secara ilmu pengetahuan dijelaskan mengapa air hujan bisa menyuburkam tanaman sehingga kemudian berbuah.

Pertama, manusia dan makhluq hidup lainnya sangat perlu Nitrogen dalam kehidupan, sementara di udara ada banyak unsur Nitrogen, hanya saja unsur Nitrogen di udara butuh diolah lagi agar bisa diterima makhkuq. Tanpa diolah, unsur Nitrogen di udara tidak bisa menyuburkan makhkuq. Nyatanya tumbuhan tanpa air hujan, hanya ada udara, tidak bisa tumbuh subur. Manusia juga. Hanya dengan petir dan kilat, lalu bercampur dengan air di awan yang mampu merubah Nitrogen di udara menjadi senyawa Nitrat. Kemudian air itu jatuh turun ke bumi menjadi hujan, dan senyawa Nitrat ini yang bisa bermanfaat untuk tumbuhan, manusia dan seterusnya. Itu makna kalimat "...dengan air (hujan) itu Kami hasilkan buah-buahan...".

Ini berarti harus menjaga kelestarian air laut, air sungai, danau dan seterusnya, tumbuhan juga, tanah juga, agar terjadi peroses merubah unsur Nitrogen di udara menjadi senyawa Nitrat lewat proses hujan.

Masih di Al Qur'an surat ke-35 Faaṭir : 28 dijelaskan sebagai berikut:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Artinya:
"Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun."

Sesungguhnya ketika manusia semakin mempunyai ilmu, maka seharusnya manusia itu semakin tunduk patuh kepada Allaah Ta'ala, semakin takut kepada Allaah Ta'ala, bukannya makin bertambah ilmu malah semakin ingkar, semakin buruk perilakunya.

Ini perlu diperhatikan, mensyukuri karunia Allaah Ta'ala itu utama, tidak boleh tidak! Karena tidak ada yang tidak merupakan nikmat Allaah Ta'ala. Semuanya nikmat karunia Allaah Ta'ala. Pernah ada orang menjawab "Oh uang, uang itu bukan karunia Allaah Ta'ala". Apa benar begitu? Tidak! Manusia sudah ditetapkan rejekinya sejak dulu, sudah ditetapkan jalan menusia mendapatkan berbagai rejeki, sudah ditetapkan sebab-sebab manusia mendapatkan rejeki, dikaruniakan tangan kaki mata dan seterusnya sebagai alat untuk mendapatkan rejeki. Dan uang itu termasuk salah satu rejeki karunia Allaah Ta'ala. Jadi hakikatnya uang itu karunia Allaah Ta'ala, pekerjaan kita hanyalah perantara saja.

Dijelaskan di Al Qur'an surat ke-4 An-Nisaa : 59 sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Kebiasaan orang-orang yang itu mengembalikan semua perkara kepada Allaah Ta'ala, termasuk kita bekerja mencari uang atau komputer atau mobil dan sebagainya, semua teknologi itu ditemukan manusia dengan otak untuk berpikir, meneliti, dengan kemauan semangat untuk menemukan alat-alat teknologi yang semua itu Allaah Ta'ala yang menciptakan, Allaah Ta'ala yang menghendaki untuk terjadi.

Jangan membedakan "Oh ini bukan dari Allaah Ta'ala, oh itu yang dari Allaah Ta'ala", tidak boleh! Itu bukan kebiasaan orang-orang yang beriman.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata di dalam syarah shahih Muslim sebagai berikut:

لاَ حَوْلَ عَنْ مَعْصِيَةِ اللهِ إِلاَّ بِعِصْمَتِهِ، وَلاَ قُوَّةَ عَلَى طَاعَتِهِ إِلاَّ بِمَعُوْنَتِهِ

Artinya:
“Tidak ada daya untuk menghindarkan diri dari maksiat selain dengan perlindungan dari Allaah. Tidak ada kekuatan untuk melaksanakan ketaatan selain dengan pertolongan Allaah.”

Semua dikehendaki oleh Allaah Ta'ala untuk terjadi, maka kembalikan apapun kepada Allaah Ta'ala.

Kemudian di Al Qur'an surat ke-3 Aali 'Imraan : 190 dijelaskan sebagai berikut:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

Artinya:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal."

Akan tetapi, mengembalikan semua urusan kepada Allaah Ta'ala itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berakal (Ulul albab), orang-orang yang mau menelaah hikmah di balik semua peristiwa. Adapun ciri-ciri orang-orang yang berakal dijelaskan di ayat selanjutnya yaitu di Al Qur'an surat ke-3 Aali-Imraan : 191 sebagai berikut:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya:
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka."

Ciri-ciri orang yang berakal adalah:

1. Orang yang mengingat Allaah Ta'ala (dzikrullaah) dalam keadaan apapun.

Di ayat itu dijelaskan posisi manusia mengingat Allaah Ta'ala, yaitu dalam posisi berdiri, duduk dan berbaring, ketiga posisi ini dilakukan manusia setiap saat dalam kondisi apapun. Jadi dzikirullaah itu tidak selalu harus dalam posisi duduk setelah sholat saja, tetapi juga ketika manusia berjalan, berlari, dalam kondisi sibuk, santai dan banyak lagi. Intinya setiap saat harus dzikrullaah. Ketika tidur pun bisa dzikrullaah yaitu dengan mengamalkan sunnah misalnya, maka tidurnya termasuk dzikrullaah.

2. Memikirkan hikmah dari semua ciptaan Allaah Ta'ala.

Manusia dikaruniai otak akal pikiran itu untuk memikirkan berbagai hikmah atas ciptaan Allaah Ta'ala, yang kemudian itu menjadikannya lebih beriman. Dan sebagian dari perwujudan iman adalah berlaku baik kepada sekitar kita, selalu tawadlu', berbaik sangka, tidak berburuk sangka, selalu menolong, tidak korupsi, tidak mementingkan diri sendiri dan seterusnya. Itu semua selain pembuktian iman kita, juga menjadi sebab iman kita meningkat.

Itu dua hal yang merupakan ciri-ciri orang berakal.

Dengan akal, manusia akan menggunakan alat-alat panca indra untuk menambah imannya pada Allaah Ta'ala, mata jangan hanya digunakan untuk melihat saja tapi gunakan mata untuk menambah iman, telinga jangan hanya digunakan untuk mendengar saja tapi gunakan telinga untuk menambah iman, kaki jangan digunakan sekedar berjalann saja tapi gunakan kaki untuk menambah iman, demikin seterusnya gunakan alat-alat tubuh ini untuk menambah iman.

Jangan sebaliknya! Jangan gunakan mata untuk melihat hal yang tidak menambah iman, jangan gunakan telinga untuk mendengar hal yang tidak menambah iman, dan sebagainya.

Untuk menambah iman, bisa juga dengan mempelajari sejarah orang-orang terdahulu, ambil yang baik untuk diteladani, apalagi kalau bertemu dengan sejarah orang yang 'alim (berilmu) yang dia paham bahwa dirinya berilmu (rojulun yadri wa yadri annahu yadri) maka pelajari dengan sungguh-sungguh, ikuti beliau, teladani beliau dan ajak orang-orang untuk mengikuti beliau. Imam Ghozali menyebut orang jenis ini orang yang utama.

Setelah mengingat Allaah Ta'ala, berpikir tentang hikmah semua ciptaan Allaah Ta'ala, menggunakan alat-alat tubuh kita untuk menambah iman dan mempelajari sejarah orang-orang mulia, maka kita harus menjaga lingkungan kita dari ketidaknyamanan dlohir dan batin, perlakukan orang lain dengan baik sebagaimana kita tentu ingin diperlakukan dengan baik pula, jaga keamanan, jaga kelestarian lingkungan, jaga ekosistem sekitar, jangan hanya mengambil pohon untuk furniture tapi juga tanam pohon agar aman dari kesusahan di masa depan, jangan hanya membuang sampah saja tapi memikirkan bagaimana daur ulang sampah dan seterusnya.

Karena kita hidup di bumi tidak sendirian, tapi ada banyak makhkuq lainnya maka kita harus menjaga alam ini. Kalau mau hidup nyaman bahagia maka kita harus berusaha membuat sekitar kita nyaman dan bahagia juga karena semua makhluq terkoneksi di dalam ekosistem, setiap makhluq akan membawa dampak baik positif atau negatif terhadap makhluq lainnya.

Oleh sebab itu manusia dilarang berbuat semena-mena, tidak boleh semena-mena terhadap dirinya sendiri dan tidak boleh semena-mena kepada makhluq lain. Ajak orang lain untuk memahami dampak perbuatan kita terhadap lingkungan,

Di Al Qur'an surat ke-30 Ar-Ruum : 41 dijelaskan bahwa banyak manusia tidak menjaga lingkungan hidup sehingga terjadi musibah seperti banjir atau longsor misalnya:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Artinya:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allaah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).".

Musibah yang terjadi karena perbuatan manusia itu dikehendaki oleh Allaah Ta'ala sebagai pembelajaran untuk kita agar paham telah melakukan kesalahan dan kemudian taubat tidak mengulangi lagi.

Adalah tugas manusia sebagai khalifah di bumi untuk memakmurkan bumi, setidaknya 2 hal yang harus diperhatikan yaitu:

1. Intifa' yaitu mengambil manfaat dari bumi, mendayagunakan bumi untuk kelangsungan hidup. Manusia memang diberikan kewenangan untuk memanfaatkan bumi sebagaimana diatur dalam syari'at. Manfaatkan secara bijaksana.

2. I'tibar yaitu mengambil pembelajaran atas semua yang terjadi di bumi. Banjir misal, ambil palajaran kenapa ada banjir, apa sebabnya, apa solusinya, apa hikmahnya, apa efeknya dan seterusnya.

Jadi dengan niat menjaga kelangsungan hidup, maka manfaatkan alam dengan bijaksana sehingga seimbang semua ekosistem dan ambil pelajaran dari kesalahan-kesalahan kita untuk ke depannya bisa lebih baik lagi.

Wassalamu 'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

“Subhaana kallaahumma wa bihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika”

Artinya:
“Maha Suci Engkau Ya Allah dan segala puji bagi-Mu, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau, aku memohon ampunan dan bertaubat pada-Mu."

No comments:

Post a Comment

Silahkan sampaikan tanggapan Anda atas tulisan di atas.